Digitalisasi Aksara Nusantara

 Oleh  Muh. Muhlisin

            Aksara adalah mercusuar peradaban yang darinya titik terang perjalanan kebudayaan bisa diidentifikasi. Peran penting aksara sudah tidak bisa diragukan lagi dalam perannya sebagai ibu yang darinya tradisi sejarah dimulai dan duta bagi kebudayaan. Berkat kemampuannya yang spesifik dan mampu berbuat lebih banyak dari bahasa. Sifat aksara yang sangat dinamis dan responsif terhadap perkembangan teknologi betul-betul menolong terhadap eksitensi dan transformasi kebudayaan dalam suatu komunitas masyarakat.
            Disadari atau tidak aksara adalah pembatas peradaban sebuah bangsa. Begitu prestisiusnya aksara bagi perkembangan peradaban suatu bangsa, aksara nusantara memiliki keberagaman dan kekhasan tersendiri yang tidak dimiliki negara-negara lain. Dalam bingakai sejarah Indonesia, aksara nusantara dapat digolongkan menjadi beberapa periodisasi berdasarkan zaman kemunculan dan atau dipergunakannya aksara-aksara di nusantara. Periodisasi atau pemetaan-pemetaan itu setidaknya teridentifikasi menjadi empat, yakni, klasik, pertengahan, kolonial dan modern.
            Di zaman klasik aksara nusantara terdiri dari Aksara Palawa, muncul pada abad ke-4, Aksara Siddhamatrka, muncul abad ke-7 dan Aksara Kawi, abad ke-8 sampai abad ke-16. Zaman pertengahan diawali dengan munculnya Aksara Buda, Aksara Sunda Kono (abad ke-14 sampai ke-16) dan Aksara Proto-Sumatra. Di zaman kolonial dapat ditemui berbagai jenis aksara, seperti Aksara Batak, Aksara Rencong, Aksara Lampung, Aksara Jawa, Aksara Bali dan Aksara Lontara. Sedangkan di zaman modern terdapat Aksara Sunda Baku.
            Keempat fase tersebut menjadi penanda dalam proses fajar aksara yang berkembang di nusantara. Sejak ditemukannya aksara pertama hingga populernya Aksara Latin dan mulai tersingkirnya aksara daerah di zaman modern ini menjadi gambaran mutlak yang mesti kita pahami. Apalagi, ragam aksara yang begitu banyak di Indonesia dalam konteks kekinian semakin pudar dan tenggelam. Ini sangat berbeda jauh dengan Jepang, Cina dan kawasan Timur Tengah yang tetap mempertahankan aksara mereka.
            Hal ini menjadi keniscayaan bagi perkembangan aksara nusantara. Mereka tersisih dan tertinggal di sudut-sudut subaltern hingga akhirnya menjadi artefak lokal yang gagal menjadi pemain di kancah global. Dari kegelisahan ini berbagai upaya terus dilakukan oleh beberapa generasi muda Indonesia dan pemerintah. Hal ini karena, berkat aksara lah sejarah bangsa Indonesia terukir lewat lembaran-lembaran daun lontar, bebatuan, dinding-dinding gua dan bilah-bilah bambu. 
            Upaya yang dilakukan anak muda Indonesia dan pemerintah ini menemukan momen yang pas dalam roda zaman yang terus berputar. Di mana perkembangan teknologi saat ini telah menjadi tamu istimewa bagi semua umat manusia. Lewat media publik seperti, perpustakaan, koran atau majalah dan internet, aksara-aksara nusantara berusaha dihadirkan diranah publik meskipun dalam bentuk yang baru, menyesuaikan dengan roda zaman.
            Dalam hal ini, nampaknya internet menjadi salah satu alternatif yang begitu efektif untuk membuka keran demokrasi aksara. Sebab, internet dalam konteks kekinian telah mengubah prilaku manusia dari kebudayaan material (material cultur) menuju kebudayaan virtual (virtual cultur).
            Peralihan kebudayaan ini dalam konteks keaksaraan, internet telah mengubah manusia dari masyarakat kertas (paper society) menjadi masyarakat nir-kertas (paperless society), (Yasraf Amir Piliang, dalam Setiawan Sabana dan Hawe Setiawan, 2005:222). Kecanggihan internet dengan berbagai fasilitas di dalamnya memberikan ruh bagi perkembangan aksara nusantara. Walaupun belum sepenuhnya, minimal lewat internet kita bisa melihat naskah atau teks serta cara baca aksara-aksara yang ada di nusantara. Tidak perlu lagi membuka buku berdebu diperpustakaan-perpustakaan, tetapi cukup menjalankan pengetikan beberapa suku kata di search engine, dokumen yang dimaksud akan hadir di monitor komputer.
            Hiroh baru keberaksaraan nusantara lewat digitalisasi aksara nusantara di Tanah Air semakin terlihat jelas ketika internet mulai digunakan di Indonesia   sejak 1993 silam. Sampai saat ini, setidaknya ada direktori beberapa aksara yang sekarang sudah masuk unicode sebagai langkah awal pembuatan domain aksara nusantara. Pada tahun 2010 terdapat lima aksara nusantara yang sejauh ini dimasukkan direktori unicode, yaitu, Aksara Bugis, Aksara Bali, Aksara Rejang, Aksara Sunda pada tahun 2008 dan terakhir Aksara Jawa yang diresmikan oleh Unicode pada tanggal 2 Oktober 2009, (M. Sanusi dalam buku Aksara-Aksara Nusantara, 2010:82).
            Perhatian khusus terhadap keberadaan aksara-aksara nusantara yang dilakukan oleh pemerintah lewat digitalisasi aksara dengan media internet ini, nampaknya telah mengilhami generasi muda Indonesia untuk turut memperhatikan ragam aksara yang ada di Indonesia. Wujud perhatian itu sangat nampak dalam pengertian Jogja Mural Forum. Di mana bahasa, termasuk tulisan atau aksara divisualisasikan hingga menyentuh dimensi-dimensi sosial.
            Salah satu yang menarik adalah karya Edi Jatmiko, salah satu mahasiswa DKV ISI Yogyakarta yang mengakomodasi bentuk Aksara Jawa kedalam bentuk Roman atau Latin. Berbagai usaha memberi ruang bagi yang lokal dalam tubuh huruf Roman atau Latin juga bisa kita dapati dalam puisinya Sutardji Calzoum Bahri yang menggambarkan Tari Kecak di Bali. Dalam dunia digital, komputerisasi Aksara Jawa sebagai pembelajaran membaca dan menulis telah diciptakan oleh Teguh Budi Sayoga, pun begitu di Bali wacana menerapkan dunia digital untuk jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah ke atas diawali dengan terciptanya dua program Aksara Bali berbasis komputer. 
            Eksplorasi aksara nusantara dalam dunia digital ini merupakan salah satu upaya pengembangan aksara kono yang diakurasikan sejalan dengan kondisi terkini. Sehingga eksitensi aksara nusantara dalam bingkai peradaban bangsa Indonesia dapat diterima dengan mudah secara universal dan tidak hanya bersifat lokal. Meskipun pada taraf implementasinya memerlukan kreatifitas yang cerdas dalam mengadaptasikan nilai-nilai tradisi yang pernah berjaya di masa lampau kedalam kemasan yang up tu date, usaha ini memerlukan tindak lanjut secara continuously dan dorongan dari pemerintah baik secara materiil maupun inmateriil.


Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sajak-Sajak Herman Busri

Negeriku

Kadang senyummu membuat luka dan menderita
Bahkan air susu yang kau berikan tak ubahnya air bah yang menghanyutkan
Tanyaku selalu “kenapa?”

Seakan kuingin robek bibir manismu yang penuh janji palsu itu
Dan tak membiarkanmu melukaiku dan semua

Wahai peminpin negriku,
Nyawa kami ada di tanganmu
Hanya rasa dan perasaanmu yang akan membuat kami hidup nyaman

Wahai peminpin negriku, Bawalah kami kesyurgamu yang kau janjikan itu
Yang kau pajang dijalanan saat kau ingin jadi kupu kupu lalu
Saat kau masih kepompong jelek tak berdaya

Wahai peminpin negriku, bawalah kami terbang
Biarkan kami merasakan indahnya awang awang bersamamu

Yogyakarta, 25 Oktober  2010

Sumber: dimuat di koran Joglosemar, Minggu, 23 Januari 2011



*Penulis adalah mahasiswa Jurusan SKI Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sajak-sajak Laily Azizah


Doa Untuk Bunga

Serangkaian kata mengalir dalam sepi
Bersama kelopak menadah hujan
Antarkan seribu keinginan
Angin surga terbangkan pujian
Menghadap kehadirat-Mu ya Rabb..
Diiringi tetesan embun permata hitam
           
Panjatkan seribu harapan
Untuk sang bunga
Gugur dalam kesepian
Tinggalkan lara dan duka
Tergores dalam guratan kalbu

Wahai bunga nan mulia
Berjuta doa hantarkan kepergianmu
Meniti langkah kerajaan agung
Di sisi yang Maha Mulia

Laily Azizah, mahasiswa Jurusan SKI semister V.

Drama Gong; Teater Rakyat yang Mendayung di Ranah Modernitas

Oleh: Zainuddin*)

Drama Gong adalah salah satu seni pertunjukan tradisional Bali yang meskipun umurnya masih relatif muda, namun sangat populer di mata masyarakat. Hal ini disebabkan dalam Drama Gong, unsur-unsur tradisional dan modern dikomodifikasikan sedemikian rupa, sehingga membentuk suatu jalinan kesenian utuh yang integratif. Menurut beberapa pengamat, kolaborasi itu dimaksudkan agar Drama Gong tetap eksis sebagai kesenian yang digemari masyarakat Bali yang sentimen style medernitasnya sangat kuat. Ini merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa dan sangat jarang diperoleh pekerja kesenian di daerah lain.
Seni pertunjukan Drama Gong dideklarasikan secara resmi sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya, seorang budayawan Bali asal Abianbase Gianyar bersama kawan-kawannya. Para deklaratornya mengakui bahwa Drama Gong ini memadukan unsur-unsur teater tari tradisional Bali seperti Sandratari, Arja, Prembon, dan Sandiwara dengan corak dan konstruksi teater modern yang telah dan tengah berkembang di Barat, utamanya di Eropa dan Amerika. Upaya ini cukup berhasil, karena dapat menarik simpati masyarakat Bali. Masyarakat gandrung menampilkan seni pertunjukan Drama Gong dalam setiap upacara-upacara penting, seperti upacara adat, agama, perkawinan serta kepentingan kegiatan sosial.
Sebenarnya, nama Drama Gong ini sejak awal dikenal dengan sebutan Drama “Klasik”. Karena pada saat itu seni pertunjukan ini hanya menyuguhkan tontonan-tontonan drama klasik, terutama dari kisah pewayangan. Dalam tarik-ulur mengenai kreativitas, lalu para pekerja Drama Gong berinisiatif untuk mengafirmasi corak konstruksi kesenian lain dalam model kesenian ini. Corak dan bentuk teater tradisional Bali yang banyak diafirmasi ke dalam Drama Gong ini adalah drama-drama yang pada umumnya sering menampilkan lakon-lakon kuno yang bersumber pada cerita-cerita romantis, seperti cerita Panji (Malat), cerita Sampik Ingtai dan kisah sejenis lainnya, termasuk juga cerita-cerita yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali sebagai sekedar sampiran.
Upaya ini cukup fantastis. Namun, baru setelah inisiatif cerdik dengan menghadirkan aroma “Barat” dalam seni pertunjukan tradisional Bali yang satu ini, pencapaian yang amat luar biasa dan mengesankan terniscayakan. Disamping masyarkat lebih antusias dalam mengapresiasi, tawaran tampil juga membludak dan pada akhirnya kesenian ini diakui oleh pemerintah.
Bersamaan dengan itu pula, sebutan Drama “Klasik” kemudian dirubah menjadi Drama Gong. Pengambilan nama ini didasarkan pada dua unsur baku dalam kesenian Drama Gong itu sendiri, yakni “drama” dan instrumen gamelan “gong”. Nama itu diberikan oleh I Gusti Nyoman Panji, salah satu Budayawan Bali yang sangat populer.

Unsur Kesejarahan
Dalam sejarahanya, pada tahun 1967 perkembangan kesenian Drama Gong cukup membanggakan. Pada tahun ini seni pertunjukan Drama Gong mampu menarik simpati masyarakat Bali secara luas. Bersamaan dengan perkisaran tahun itu pula, kesenian tradisional Bali seperti Arja, Topeng, dan lainnya mulai dan telah tergantikan oleh Drama Gong. Panggung-panggung besar kesenian selalu tak luput dari penampilan para pelaku Drama Gong.
Pertambahan tahun ternyata semakin mengantarkan seni pertunjukan Drama Gong pada puncak kejayaannya. Pada tahun 1970, Drama Gong kian fenomenal dan tidak hanya mampu menarik simpatik masyarakat Bali, orang yang bukan asli penduduk Bali pun sangat senang dengan pertunjukan kesenian tersebut, bahkan para turis. Betapa pada saat itu adalah tahun paling bersejarah bagi Drama Gong.
Namun mencapai pertengahan tahun 1980, semenjak I Gusti Nyoman Panji–seorang budayawan Bali sekaligus orang yang mempunyai peran penting di dalam perjalanan Drama ini sudah wafat, kepopuleran seni pertunjukan ini mulai menurun. Ditambah lagi oleh rendahnya intensitas dan agrasifitas generasi penerusnya. Lebih-lebih setelah kesenian Drama Gong mulai dikomersialkan dengan menarik karcis dari para penonton. Maka indikasinya, kesenian ini tidak lagi bermasyarakat. Hanya kalangan “beruang” saja yang dapat menikmati pertunjukan Drama Gong pada waktu itu. Oleh karenanya, konsekuensinya ialah lemahnya antusiasme masyarakat Bali pada kesenian ini dikarenakan eksklusivitasnya itu. Dengan demikian, Drama Gong lalu kurang populer di tengah-tengah masyarakat luas.
Namun untung pada tahun 1985, kesenian ini tertolong oleh hadirnya Ida Bagus Anum Ranuara. Ia mulai menghidupkan Drama Gong lewat Sanggar Mini yang diasuhnya dan didukung oleh para pelaku Drama Gong yang masih bersemangat untuk mengangkatnya kembali. Hingga saat ini, dengan kembalinya Drama Gong sebagai kesenian yang lebih inklusif bagi masyarakat luas, upaya untuk mempertahankannya sangat digalakkan dengan membuka ruang-ruang kursus dan sanggar-sanggar kecil di berbagai daerah, serta prosedur dan administrasial yang telah dibakukan.

Unsur Pementasan
Pementasan Drama Gong ini biasanya di mainkan oleh kurang lebih sembilan orang laki-laki dan perempuan. Ragam pelakon ini terdiri dari raja manis, raja buduh, putri manis, raja tua, permaisuri, dayang-dayang, patih keras, patih tua, dan dua pasang punakawan. Unsur-unsur ini memang sangat kontras jika dibandingkan dengan Menolog Monoplay pada teater modern. Demikian pula dari segi busana dan asesoris para pemainnya, sistem dan bentuk berdialog, hingga desain panggung.
Para pelakon Drama Gong mengenakan busana tradisional Bali. Sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang telah diberikan oleh sang sutradara pada setiap pemain. Setiap perubahan suasana dramatik dalam tiap-tiap lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan Gong Kebyar­ dari balik layar.
Sementara dalam seting panggung yang digunakan dalam seni pertunjukan ini tergantung situasi dan kondisi dimana Drama Gong ini dipentaskan. Tetapi dalam koridor masih menggunakan desain dalam beragam asesoris dan seting dalam megatur suasana berjalannya sebuah pentasan dalam setiap adegan-per-adegan.
Di sini juga perlu diketahui bahwa dalam Drama Gong sangat dijauhi akting model surialisme maupun absurd teater modern. Justru sangat ditekankan akting realistis, supaya pesan moral mudah ditangkap oleh para penonton, melalui dialog-dialog verbal yang berbahasa Bali.
Drama Gong ini biasanya diselenggarakan di malam hari, sekitar jam 20.00 sampai selesai, dalam sebuah pertunjukan yang hanya memakan waktu kurang-lebih satu jam. Sebelum pertunjukan di mulai, biasanya di awali dengan prolog berupa macapat seperti dalam tradisi Jawa dengan iringan tabuhan gamelan. Ini dimaksudkan untuk merangsan kesan para penonton.
Macapatan itu berisi instruksi kearifan-kearifan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat waktu itu, tema cerita dalam Drama Gong digelar. Namun letak penting dari antusiasme masyarakat Bali ialah bukan karena dimensi estetik tampilan Drama Gong yang telah dikomodifikasi dari unsur-unsur tradisional-modern ini, tetapi kerena selain di dalam lakon Drama Gong banyak mengandung daya magis, masyarakat Bali juga menganggap bahwa seni pertunjukan ini dapat menjadi obat mujarab untuk menghibur jiwa yang dalam kesehariannya suntuk dengan pergolakan, baik pergolakan dalam lanskap sosial-kemasyarakatan maupun keluarga.    ***



*)Zainuddin, Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.



Mengenal untuk Mencinta; Budaya Dayak


Judul Buku      : Budaya Dayak; Permasalahan dan Alternatifnya
Penulis             : Kusni Sulang dkk
Penerbit           : Bayu Media
Cetakan           : I, Juli 2011
Tebal               : xiv+434 halaman
Peresensi         : Sri Wahyuni*)

Langkah tidak akan menyisakan jejak tanpa pondasi serta spirit dari cinta. Cinta memang mengandung daya luar biasa untuk merealissaikan harapan. Sebagaimana usaha Kusni Sulang beserta kawan-kawan sesama seniman dan budayawan beliau dalam rangka mengapresiasi Budaya Dayak. Langkah yang berpondasikan cinta tersebut mampu menyutikkan spirit tersendiri, sehingga mereka mampu mengumpulkan ratusan esai terbaik. Dari kumpulan beberapa esai itulah lahir sebuah buku yang memiliki sumbangsih sangat besar terhadap kebudayaan Dayak.
Beberapa tokoh telah berwasiat, bahwa budaya merupakan ruh dunia. Tentu saja ungkapan tersebut ditulis bukan untuk diperdebatkan. Coba saja kita renungkan, bagaimana nasib bumi tanpa budaya? Bumi hanya akan mejadi planet tanpa peradaban, tidak berbeda dengan planet-planet tanpa penghuni diangkasa sana. Jika diilustrasikan, budaya dan bumi tempat kita berpijak layaknya dua sisi kepingan uang logam. Bumi menjadi ladang bagi budaya, sedangkan budaya menghidupkan bumi.
Kenyataan bahwa dunia itu beraneka ragam, menimbulkan dampak dan pembentukan budaya yang juga beraneka. Perbedaan coraknya bisa digambarkan mulai antar benua, antar negara hingga beragamnya budaya antar daerah dalam suatu negara. Kita perlu mengingat ungkapan Paul Ricouer, "kebudayaan lokal adalah bahasa lokal untuk berdialog dengan budaya dunia". Secara sedehana dapat kita tafsirkan, bahwa gerbang untuk memahami wawasan budaya baru, dapat kita buka setelah mampu mengenal budaya daerah atau lokal dengan baik.
Negara tercinta Indonesia merupakan sebuah negara adiluhung yang sangat kaya dengan keanekaragaman budaya lokal di dalamnya. Dan buku ini melangkah menuju bahasan salah satu ragam kebinekaan budaya Indonesia, yakni Budaya Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah.
Nama Suku Dayak memang sudah masyhur sejak dulu. Akan tetapi mungkin hanya terkenal dari perspeksif negatif yang sangat tidak adil. Salah satu sebab adalah ketika Belanda memberi julukan "Dajakers" pada Uluh Itah (masyarakat Dayak). Padahal implementasi Dajakers yang mereka jabarkan adalah kaum liar yang tidak berperikemanusiaan. Di dalam buku tebal tapi mudah difami ini, kita akan tahu bahwa ungkapan sepihak dari Belanda tersebut sama sekali tidak benar. Penetapan istilah Dajakers hanyalah bentuk topeng politik yang mereka buat dalam rangka memecah belah kesatuan budaya Indonesia.
Dalam esainya, Kusni Sulang menuturkan bahwa sejak dahulu Budaya Dayak merupakan Budaya Kaharingan yang menyimpan berbagai hasanah tersendiri. Mulai dari nilai-nilai lokal hingga moral universal. Sebagai contoh adalah adigium masyarakat Uluh Itah yang berujar ain ni ain (kita adalah satu). Pepatah tersebut juga senada dengan slogan Bangsa Indonesia yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika. Secara otomatis, pepatah Dayak yang tidak lebih dari tiga kata diatas juga menyimpan kekuatan maha dahsyat, yang mampu memperkokoh eksistensi mereka dalam ranah lokal maupun nasional, yakni pernyataan kesatuan.
Kumpulan beberapa esai dalam buku ini sesuai dengan judul di cover depan, "Budaya Dayak; Permasalahan dan Alternatifnya". Dimana esai dalam buku ini membahas secara runtut dan perlahan Budaya Dayak, disamping juga permasalahan-permasalahan yang muncul. Mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, sampai masalah gender di tengah masyarakat Dayak. Sebagai bekal penghantar, buku ini bisa dikatakan sebagai suguhan lengkap. Selanjutnya terletak pada kesadaran generasi muda yang diharapkan mampu mendukung dan mengembangkan budaya lokal ke arah nasional, bahkan dalam tataran internasional.
Genersi muda yang benar-benar paham mati arep ah dan marega arep ah, tentu sadar akan budaya diri, bangga, kemudian siap bergerak dalam arus medernitas tanpa harus menanggalkan baju kedaerahan. Ingat, pembaratan (westernisasi) yang mengacuhkan budaya asal bukanlah modernitas tanggap zaman, melainkan harakiri budaya. Sebagaimana akar istilah modern itu sendiri, yang brarti kekinian. Artinya, manusia modern bukanlah mereka yang seratus persen mengadobsi kebudayaan barat, melainkan masyarakat yang benar-benar sadar bahwa dirinya berada dalam masa yang mampu memberikan perubahan positif akan keberadaannya sekarang ini.
Setelah sadar akan makna modernitas, alangkah bijaknya jika kesadaran tersebut diaplikasikan untuk menyusun langkah. Langkah yang membantu menerangi budaya kita sendiri. Untuk mengawalinya, cukuplah kiranya pepatah ain ni ain.
Bersatulah Dayakku, kukuhkan Indonesia!

   *)peresensi adalah mahasiswi jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunankalijaga Yogyakarta.

Tari Pendet dan Nasionalisme Semu


Oleh: Imam Nawawi

Kembali ketenangan kita diusik negeri jiran. Pada tahun 2007 Malaysia membuat ulah. Wayang kulit, Angklung, lagu ‘Rasa Sayange’, lagu ‘Jali-jali’, lagu ‘Indiang Sungai Garinggang,’ Batik, dan Reog Ponorogo hampir direbutnya. Pada 2009 Tari Pendet dari Bali kembali menjadi sorotan publik. Malaysia menayangkan Tari Pendet dalam iklan pariwisatanya untuk menarik minat pengunjung. Pemerintah RI pun merasa dirugikan baik secara moril maupun ‘materil’.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata terpaksa mengirimkan surat protes kepada pihak pemerintah Malaysia agar izin publikasi Tari Pendet sebagai iklan pariwisata di negeri mereka segera dicabut. Sayangnnya, pemerintah Malaysia mengelak dituduh melakukan publikasi hal yang bukan haknya dengan berdalih bahwa produksi iklan tersebut adalah milik swasta sehingga proses hukum akan segera ditindak lanjuti.
Terlepas bagaimana pangkal penyelesaian adegan ‘drama’ tersebut, yang jelas rasa nasionalisme terpancing kepermukaan. Pemerintah RI merasa gerah dengan ikhwal klaim-mengklaim negara tetangga atas Tari Pendet ini. Sekalipun masih dalam proses namun masyarakat luas sudah mengetahui bahwa pemerintah RI serius mempertahankan karya anak bangsa dan budayanya.
Tanpa tendensi melontarkan asumsi negatif atas respons pemerintah namun indikasi-indikasi tertentu dari protes tersebut cukup tercium. Terdapat satu pertanyaan kenapa setiap hal yang bernilai materil atau capital direspons berbeda tinimbang persoalan yang lebih ‘transenden-abstrak’. Nasionalisme terhadap tari-tarian dan lagu-laguan, yang notabene dapat mendatangkan keuntungan material jika dikelolah dengan baik misalnya, mendapat perhatian lebih dari sekedar nasionalisme antiketertindasan, antipenjajahan, antiketerbelakangan dan antikemiskinan misalnya?
Mengaca pada sejarah kita disadarkan bahwa pemerintah sekarang sudah jauh meninggalkan ranah perjuangan yang semestinya. Awal abad duapuluh (1923) misalnya para intelektual anak bangsa yang belajar di negara Belanda sudah menggaungkan kemerdekaan, mempelopori gerakan antikolonialisme radikal, dan merumuskan arah bangsa yang semestinya. Kepedulian mendasar ditunjukkan lewat perhatian terhadap hal-hal yang paling mendesak, waktu itu berupa kemerdekaan dari penjajahan kolonial.
Fakta sekarang pemerintah bersuara lantang jika yang dicaplok orang lain adalah hasil karya anak bangsa yang potensial mendatangkan keuntungan materi. Sebaliknya pemerintah ongkang-ongkang saja melihat kemerdekaan, kebebasan, dan kemandirian dalam ekonomi dan politik diintervensi negara asing. Semestinya kemerdekaan sejati dan kemandirian optimal lebih mendesak ditangani.
Dalam majalah Hindia Poetra edisi Maret 1923 De Indische Vereniging (Pehimpoenan Indonesia) meletakkan tiga ide dasar arah perjuangan sebuah negara-bangsa. Pertama terkait masa depan bangsa bahwa kemajuan tergantung sejauh mana struktur pemerintahan bebas dari intervensi asing, kedua terkait kewajiban semua pihak untuk berusaha sendiri tanpa bantuan pihak manapun, dan ketiga, kerjasama adalah point penting dalam rangka mencapai dua cita-cita sebelumnya. Intinya ide nasionalisme berakar pada kemerdekaan sejati dan kemandirian yang maksimal (Sartono Kartodirjo, 2005).
Pemerintah tidak salah pabila berjuang keras menggugat Malaysia ihkwal Tari Pendet dari Bali yang dimanfaatkan mereka demi kepentingan ‘kapitalisme’. Tapi amat tampak lucu dan bikin kesal jika pemerintah tinggal diam dan bungkam melihat bangsa ini dijajah dalam perekonomian dan politiknya. Betapa tidak, negara yang sedari dulu bergelar gema ripah loh jinawi kini harus terjebak dalam impor pangan. Lebih dari 5 miliar AS atau setara dengan Rp. 50 triliun devisa negara terkuras sia-sia untuk biaya impor itu. Sementara elite pemerintah sendiri terkesan bersengaja tidak serius untuk berdikari. Bayangkan, negeri yang mudah mendapatkan garam masih juga mengimpor garam. Rp. 900 miliar terbuang cuma-cuma (Kompas, 24/8). Ironis bukan?!
Nasionalisme kini lebih tampak pragmatis sehingga terendus kesemuannya. Nasionalisme diperjuangkan hanya jika membantu mempertebal ‘kantong-kantong’ pemerintah. Nasionalisme dicampakkan dan dilupakan untuk diperjuangkan jika menutup sumber ‘rejeki’ mereka. Lihat, teramat banyak kontrak-kontrak dengan negara asing dikukuhkan sekalipun nyata-nyata bertujuan mengeruk kakayaan sumber alam kita sementara penduduk pribumi tidak berkesempatan mencicipi manis ‘tanahnya’ sendiri.
Karena itulah, pembelaan terhadap Tarian Pendet yang belakangan ini seru diperebutkan hanyalah bagian kecil dari ‘drama’ nasionalisme. Masyarakat luas masih diliputi keraguan akan kejujuran pemerintah dan keseriusannya dalam mempertahankan hasil karya budaya sendiri selama belum ada bukti nyata dari komitmen pemerintah untuk membawa kesejahteraan yang dijanjikan bagi rakyatnya. Nasionalisme bukan saja ditunjukkan dengan protes terhadap pihak yang hendak merebut budaya, yang notabene benda mati, melainkan juga nasib para pelaku budaya itu sendiri (rakyat) diperhatikan dengan baik.
Sudah saatnya pemerintah kembali ke khittah dan reinterpretasi terhadap kandungan nasionalisme. Yakni, bahwa arah perjuangan utama bagi bangsa ini adalah apa yang telah purna dirumuskan oleh founding fathers. Kemerdekaan, kebebasan dari beragam bentuk intervensi asing, dan kemandirian menjalani hidup, adalah dasar pijakan nasionalisme. Dengannya bangsa ini maju. (Bukankah negara yang maju dan kuat segan diusik oleh negara-negara tetangganya?).
Walhasil, dapat diketahui alasan mendasar dari setiap peristiwa kenapa bangsa kita tidak segera berkembang maju sampai pada usianya yang senja. Jawabannya jelas, nasionalisme yang dipahami sampai detik ini adalah nasionalisme yang terlalu semu dan tidak mengakar. Nasionalisme diperalat untuk menjaring kekuasaan dan mediasi mengabdi pada kapital (kekayaan).
Lantas siapa korban dari nasionalisme semu tersebut dan apa bentuknya? Masyarakat. Masyarakat diminta kesediaannya untuk merawat dan menjaga keberlangsungan sebuah budaya sementara sumbangsih dan kontribusi pemerintah kepada mereka tidak tampak. Reward untuk rakyat nyata-nyata tidak ada. Sebab dalam konteks ini mungkin masih berlaku sebuah pepatah Barat, “Tidak ada makan siang gratis!”

Tulisan ini dimuat di Koran Joglosemar, Agustus 2009

*)Imam Nawawi, Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

DI REL KERETA


Cerpen Marsus Banjarbarat*

Malam yang lirih. Butiran bintang bersinar redup. Gumpalan awan berarakan. Meggantung memalingkan sinar rembulan, yang kini malu-malu memancarkan sinarnya ketepian dedaun pepohonan.
Lalu, tepat di bawah temaram bayang-bayang dedaun yang terpancar oleh sinar rembulan. Seorang perempuan tiba-tiba mengajakku berjalan. Langkah tergesa saat malam masih berkabut embun yang kian dingin. Sesekali langkahnya sulit kujajarkan dengan langkah kakiku. Tapi tangannya tetap aku genggam. Seakan dipaksa untuk tidak menulak ajakannya.
“Kita mau ke mana?” Tanyaku.
“Sudah, naiki saja motornya,” jawab perempuan itu singkat. Diulurkannya kunci motor ke hadapanku. Setelah beberapa detik, seusai isyarat saling pandang. Aku mulai menanjak gas motornya. Melaju kencang ke arah jalan yang ia tunjukkan—yang entah ke mana arah dan tujuannya?
“Kita mau pergi ke mana?” Tanyaku sekali lagi.
“Aku di ajak Mbak Juju,” jelasnya sedikit.
“Kemana?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu?”
Hening. Desau angin terus mengejar sepanjang perjalanan.
“Lha, Mbak Juju mana?” Tanyaku lagi.
“Dia sudah menunggu aku di samping Pos Rel Kereta Api. Dia menelponku tadi. Aku di suru cepat kesana bersamamu.”
Angin berhempas lirih. Aku dan perempuan itu berlalu menuju suatu tempat yang aku tak tahu: kemana dan mau apa?
Tak sampai sepuluh menit. Sebelum aku menumui Mbak Juju. Aku merasakan seberkas air bening yang jatuh ke pundakku. Aku menghentikan laju motorku. Menoleh memerhatikan perempuan yang sedang berada di belakangku. Tak dinyana, ternyata kulihat ada butiran-butiran air bening mengalir dari ujung pelupuk mata perempuan itu.
“Kenapa kamu menangis?” Tanyaku.
“Nggak, aku nggak menangis.” Jawabnya. Ada yang disembunyikan dalam benaknya.
“Aku cuma kelilipan.” Lanjutnya beserta senyum ranum yang tak mampu kuterjemahkan.
“Kita nggak usah pergi saja,” ucapku pelan. Sesekali mendekati perempuan itu.
“Kenapa?” Tanyanya dengan nada lirih.
“Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirimu.” Aku meraih tangannya.
“Kasihan Mbak Juju. Dia sudah menunggu sejak tadi.”
“Aku akan telpon dia.”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Kita berangkat saja sekarang.” Perempuan itu mendesah dengan kening berkerut. Aku tak bisa menolak permintaannya.
Aku melangkah menanjak gas motor. Dia pun tanpa sungkan memegang erat tubuhku. Bahkan seperti memelukku. Aku membiarkannya. Aku tak ingin perempuan itu kecewa. Apalagi membuat hatinya terluka. Tidak! Aku tak akan lakukan itu. Aku tak ingin menambah sakit hatinya sebab kejadian yang baru ia alami beberapa hari ini.
***
Ya, dua hari yang lalu, perempuan itu sempat bermaksud untuk mengakhiri hidupnya. Di sebuah rel kereta, yang tak jauh dari tempat kostku. Ia berdiri tegap. Membiarkan tubuhnya terkulai. Memandang laju kereta yang ia tunggu-tunggu. Tapat di tengah-tengah rel kereta. Perempuan itu menutupi sepasang mata dengan kedua telapak tangannya.
Sontak, setelah tak seberapa dari jedah suara lengking kereta, perempuan itu menjerit. Meronta-ronta. Meminta agar dirinya dibiarkan mati tertabrak kereta. Dan untung saja, aku berhasil menyelamatkan perempuan itu dari laju kencang sebuah kereta.
“Kenapa kau lakukan semua ini?” Tanyaku. Dia tak menjawab. Tetap diam bergeming dengan tubuh gemetar. Lalu, aku mengajaknya pulang. Tapi sanyang, dia tak mau pulang.
Hari sudah menampakkan senja. Segaris cahanya rebah. Terpancar ketepian pucuk daun ilalang kering yang berjatuhan. Sementara itu keringat hangat terus mengucur dari keningnya. Entah karena sebab takut, atau karena panas tertampar sinar matahari?
Aku bangkit dari tempat duduk. Kegelapan saat itu terasa semakin menggiring dengan hadirnya gumpalan awan yang menyelimuti sinar matahari. Hening. Saat aku mengajaknya lagi agar segera pulang. Namun, keinginannya tetap berbalik, dari keinginan yang aku inginkan. Perempuan itu resah. Dadanya seperti bergemuruh. Sementara keinginannya kembali berlanjut untuk mengakhiri hidupnya.
Perempuan itu memejamkan mata. Di kepalanya tergambar keadaan yang mendebarkan. Ya, seperti saat ia berdiri tegap di tengah rel. menutupi sepasang mata dengan kedua belah telapak tangannya. Ah, tapi niat buruk—mengakhiri hidupnya hanya jadi sia-sia saja.
Pada sebuah senja menjelang malam itu, aku tak membiarkan sang perempuan sendiri. Aku menemaninya hingga larut malam. Meski dingin juga tak jarang aku rasakan, sesekali membuat bibir dan tubuhku gemetar. Tapi aku tetap berusaha bertahan. Aku tak ingin perempuan itu hancur bahkan mati mengakhiri hidupnya sebab kegalawan hatinya. Namun, aku pun juga tidak tahu. Entah sebab apa dia berniat buruk seperti itu?
“Dia telah membuat hatiku hancur,” ucapnya setelah kupaksa untuk bercerita—perihal apa yang membuat dirinya ingin mengakhiri hidupnya dengan cara begitu.
“Dia? Siapa dia?” Tanyaku, tapi tak terlalu memaksa.
“Tunanganku, yang selama bertahun-tahun aku menjalin cinta dengannya,” jawab perempuan itu dengan nada terluka.
Hening. Bibirku tertutup. Tak sepatah kata pun yang aku lontarkan. Aku tak begitu yakin, kalau Suhri, tunangannya yang ia cinta sampai hati telah menyakiti perempuan sebaik Vita. Ya, perempuan yang sejak tadi kini hanya diam di pinggir rel kereta. Dengan mata merah merona. Serta tubuh terkulai oleh derita.
“Kamu tahu, dimana sekarang tunanganmu berada?” Tanyaku dengan hati sedikit getir takut menambah hatinya terluka.
Sontak, tak dinyana air mata kembali mengiris pipinya. Ternyata, ucapan yang aku lontarkan benar-benar telah membuat hatinya luka. Tersakiti. Dalam diam, dia berusaha menyembunyikan keperihan hatinya. Tapi, mungkin perih itu benar-benar tak mampu untuk ia tahan. Hingga perempuan itu kembali terisak senik disertai banjir air mata yang jatuh ke pipinya.
“Dia benar-benar kejam! Kejam!” Teriak perempuan itu sambil berlari.
Spontan aku mengejarnya. Lalu kuraih tangannya, kupegang erat jemarinya,
“Vi, mau kemana? Ayo kita pulang!” Pintaku, tapi dia tetap saja berusaha lari dari hadapanku.
“Ini sudah malam, pulanglah...!” Lanjutku.
Ia terdiam sejenak. Dalam jiwanya seperti ada perasaan mengganjal yang baru ia sadari dari niat buruknya. Baru setelah beberapa menit, dia membalikkan tubuhnya. Berjalan pelan menuju kontrakannya.
***
Keesokan harinya. Tanpa sengaja ketika aku sedang melintas di rel kereta, kulihat Vita duduk dengan wajah beku. Matannya merah. Sedikit kulihat ada sisa air mata yang hampir megering yang baru saja ia tuangkan dari kesedihannya. Entahlah, kekhawatiranku tiba-tiba kembali melonjak saat melihatnya.
Lalu, aku menghampirinya. Menyapanya. Dengan manis ia melempar senyum tipis yang hanya ia paksakan.
“Kenapa diam disini sendiri?” Sapaku.
“Aku lagi ingin sendiri,” jawabnya. Sesekali desau angin menyebak rambut lurusnya.
Entah, aku jadi khawatir teringat akan peristiwa yang ia alami beberapa hari kemaren. Waktu Vita berdiri tegap di tengah rel kerera. Memejamkan kedua matanya. Menutup raut wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Lalu subuah kereta melaju kencang lurus dengan tubuhnya. Namun, untung saja sempat kuselamatkan.
***
Malam itu, ketika aku dan Vita menumui Mbak Juju, serasa ada sesuatu hal yang aneh yang tak kumengerti. Namun aku memilih diam saja. Kubiarkan mereka berdebat habis-habisan hingga larut malam. Meski sebenarnya aku sudah tak tahan menahan kantuk yang berlarut-larut mengajakku rebah menghapus rasa lelah. Tapi tetap aku tahan.
“Aku tak menyangka, kamu bisa berbuat seperti itu, Ju.”
Kudengar suara Vita agak sedikit serak. Dan tiba-tiba saja tangis pecah di antara mereka berdua.
“Maafkan aku, Vi..., ini semua bukanlah kehendakku. Tapi aku dipaksa orang tuaku untuk menikah dengan Suhri, tunanganmu.”
“Aku harap, persahabatan kita tidak hancur gara-gara persoalan ini” lanjut mbak Juju. Sesekali ia raih tangan Vita. Namun wajah Vita menyimpan beribu kekecewaan yang tak mampu ia tutupi.
Baru setelah beberapa menit, mereka saling berpelukan. Memaafkan, merajut kembali tali persahabatan.
Jogja, September-Oktober 2010

*)Marsus Banjarbarat, lahir di Sumenep Madura, sekarang menjadi penikmat Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

BAGAIMANA PERANAN FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA DALAM MEMBANGUN BANGSA YANG HARMONIS?


Oleh : Badrun Alaena*
Tulisan pendek ini tidak bermaksud untuk menawarkan solusi kreatif dan jitu mengenai berbagai persoalan yang dihadapi oleh Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dewasa ini, melinkan sekadar memberikan sumbangan pokok pikiran yang sekiranya dapat didiskusikan untuk membangun Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dalam konteks keindonesiaan kita yang damai di masa depan. Jadi, pokok pikiran ini juga tidak berniat untuk mengetahui dan memastikan masa derpan dan bagaimana yang seharusnya di jalani oleh Fakultas Abad dan Ilmu Budaya, kecuali hanya meramalkan dan merumuskan yang sifatnya msih praduga ilmiah. Sebab bagaimanpun, manusia itu setinggi apapun ilmu dan kekuasaannya, tetaplah ia tidak dapat mengetahui masa depan kehidupannya, bahkan dirinya sendiri dengan pasti. Karena itu pula bagi penulis, masa depan merupakan perkara ghaib, kepunyaan Allah SWT dan hanya Dialah yang mampu mengetahui dan memastikan rahasia-rahasia makhluk Allah SWT yang diciptakannya. Memang, persoalan kehidupan manusia pada dasarnya dapat dipecahkan selama ia masih hidup, kecuali hanya satu mengubah takdir Tuhan, termasuk perkara-perkara ghaib.
Dalam pada itu, dapatlah disimpulkan bahwa kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dipertengahan awal abad ke-20 M yang kemudian berjumlah sebelas buah dan semuanya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, agaknya hingga saat ini belum memiliki peran yang signifikan (baca:nyata) dalam membangun bangsa yang harmonis itu. Dikatakan belum berperan secara signifikan, karena adanya beberapa masalah yang dilatarbelakangi oleh, antara alin sebagai berikut.
Pertama, pada mulanya kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Budaya di tanah air tidak disertai oleh sebuah bangunan argumentasi epistimologis yang pokok, mengapa dan untuk apa kok harus hadir di Indonesia sehingga arah perkembangan yang dikehendakinya menjadi jelas dan tidak terkendali? Yang terbaca selama ini dalam buku-buku literatur nampaknya hanya menyebutkan kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dilandasi oelh alasan historis dan politis, yaitu disamping ilmu-ilmu Faultas Adab dan Ilmu Budaya (kesusastraan dan budaya) sejak dulu sudah ada bahkan telah lama diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah seperti Balaghoh, Nahwu, Shorof, dan Tarikh sehingga perlu dilestarikan eksistensinya agar jangan sampai punah. Juga secara politis, kehadiran fakultas ini di lembaga perguruan tinggi agama Islam (PTAIN) merupakan bagian dari strategi politik umat Islam untuk mereproduksi kaum intelektual (sarjana) muslim yang berbobot dari berbagai disiplin ilmu keislaman (dirasah islamiyah), yang kelak akan berguna untuk menandingi kaum intelektual yang berbasis ilmu-ilmu umum (sekuler) hasil didikan pendidikan model barat yang kiprahnya cukup signifikan dalam konstalasi  peta politik Indonesia sejak era kemerdekaan.
Kedua, jika alasan historis dan politis, kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Budaya seperti itu hanya dijadikan argumentasi dan dalil mengapa harus dipertahankan kehadirannya, maka tetaplah peran-peran yang dimainkan oleh para sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya di Indonesia jika dirasakan akan tetaplah sedikit dan kecil. Karena peran-peran yang dimainkan oleh Fakultas Adab dan Ilmu Budaya selama ini hanya berorientasi semaksimal mungkin akan membawa kebaikan hanya bagi dirinya sendiri. Hal ini berakibat pada peran-peran yang lain diluar dirinya, seperti merespon dan berkontribusi dalam membangun keindonesiaan kita yang harmonis tidak dapat dilakukan ditengah persaingan keras peran-peran intelektual yang dimainkan dari berbagai latar belakang, pendidikan, budaya, dan agama.
Padahal pembanguna keindonesiaa yang harmonis di era kontemporer sekarang mendesak diwujudkan mengingat sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, bangsa ini selalu dirundung dalam pertentangan dan persilangan antarkepentingan sejarah dan peradaban dunia yang tidak henti-hentinya membawa dehumanisasi kebangsaan. Pertentangan dan persilangan ini seringkali menimbulkan anarkisme budaya, destruktifisme moral, anomali nilai-nilai kebangsaan kita yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang beradab dan santun. Jika demikian halnya, maka kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Badaya di Indonesia harus dikaji ulang dalam arti ditinjau kembali bagaimana dasar epistimologinya dan visi apa yang ditawarkannya, sehingga struktur keilmuan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya benar-benar membawa kontribusi yang positif bagi bangunan kebangsaan kita.
Untuk itu, sebenarnya dasar epistimologi yang kemudian menjadi arah dan visi bersama itu terletak pada persoalan di mana seluruh bangunan keilmuan Fakultas adab dan ilmu Budaya itu seharusnya dapat diarahkan untuk membangun sekaligus mengembangkan peradaban yang berbasis pada nilai-nilai Islam yang inklusif, santus (human), dan spiritualistik. Tentu peradaban Islam yang hendak dikembangkan di sini mesti dipandang sebagai sebuah bagian dari peradaban dunia yang dilandasi oleh niali-nilai dan doktrik keislaman seperti itu. Dengan demikia, dasar epistimologi peradaban Islam yang hendak kita bangun itu tidak harus memutus mata rantai sejarah peradaban Islam, akan tetapi meneruskan, memperbaiki, dan mengembangkan peran-perannya dalam konteks keindonesiaan kita.
Dalam kasus di fakultas Adab dan Ilmu Budaya di UIN Sunan Kalijaga, misalnya, perdaban Islam yang unggul itu diderifasikan nilai keunggulannya kedalam target akademik bagaimana mencetak sarjana Fakultas adab dan Ilmu Budaya yang unggul terwujud, yakni tidak hanya mencetak sarjana yang menguasai keunggulan study Islam yang inklusif dan toleran berbasis keilmuan Adab dan Ilmu Budaya, tetapi juga kemampuan berbahasa Arab dan Inggris, serta kecakapan menerapkan teknologi informasi. Keunggulan ini telah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir di mana seluruh mahasiswa Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijag untuk mencapai gelar kesarjanaannya, selain harus mendapatkan sertifikasi ijazah, ia juga harus mendapatkan sertifikasi kemampuan mumpuni berbahasa Arab, Inggris, dan sertifikasi penggunaan teknologi informasi. Hanya dengan keunggulan seperti itulah, diharapkan sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dapat berperan membangun peradaban Islam yang unggul di Indonesia yang kini telah menghadapi tantangan global akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, serta persaingan keras antarbidaya, dengan dasar nilai-nilai keislaman  yang inklusif dan toleran.


*) Penulis adalah dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts