Mengenal untuk Mencinta; Budaya Dayak


Judul Buku      : Budaya Dayak; Permasalahan dan Alternatifnya
Penulis             : Kusni Sulang dkk
Penerbit           : Bayu Media
Cetakan           : I, Juli 2011
Tebal               : xiv+434 halaman
Peresensi         : Sri Wahyuni*)

Langkah tidak akan menyisakan jejak tanpa pondasi serta spirit dari cinta. Cinta memang mengandung daya luar biasa untuk merealissaikan harapan. Sebagaimana usaha Kusni Sulang beserta kawan-kawan sesama seniman dan budayawan beliau dalam rangka mengapresiasi Budaya Dayak. Langkah yang berpondasikan cinta tersebut mampu menyutikkan spirit tersendiri, sehingga mereka mampu mengumpulkan ratusan esai terbaik. Dari kumpulan beberapa esai itulah lahir sebuah buku yang memiliki sumbangsih sangat besar terhadap kebudayaan Dayak.
Beberapa tokoh telah berwasiat, bahwa budaya merupakan ruh dunia. Tentu saja ungkapan tersebut ditulis bukan untuk diperdebatkan. Coba saja kita renungkan, bagaimana nasib bumi tanpa budaya? Bumi hanya akan mejadi planet tanpa peradaban, tidak berbeda dengan planet-planet tanpa penghuni diangkasa sana. Jika diilustrasikan, budaya dan bumi tempat kita berpijak layaknya dua sisi kepingan uang logam. Bumi menjadi ladang bagi budaya, sedangkan budaya menghidupkan bumi.
Kenyataan bahwa dunia itu beraneka ragam, menimbulkan dampak dan pembentukan budaya yang juga beraneka. Perbedaan coraknya bisa digambarkan mulai antar benua, antar negara hingga beragamnya budaya antar daerah dalam suatu negara. Kita perlu mengingat ungkapan Paul Ricouer, "kebudayaan lokal adalah bahasa lokal untuk berdialog dengan budaya dunia". Secara sedehana dapat kita tafsirkan, bahwa gerbang untuk memahami wawasan budaya baru, dapat kita buka setelah mampu mengenal budaya daerah atau lokal dengan baik.
Negara tercinta Indonesia merupakan sebuah negara adiluhung yang sangat kaya dengan keanekaragaman budaya lokal di dalamnya. Dan buku ini melangkah menuju bahasan salah satu ragam kebinekaan budaya Indonesia, yakni Budaya Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah.
Nama Suku Dayak memang sudah masyhur sejak dulu. Akan tetapi mungkin hanya terkenal dari perspeksif negatif yang sangat tidak adil. Salah satu sebab adalah ketika Belanda memberi julukan "Dajakers" pada Uluh Itah (masyarakat Dayak). Padahal implementasi Dajakers yang mereka jabarkan adalah kaum liar yang tidak berperikemanusiaan. Di dalam buku tebal tapi mudah difami ini, kita akan tahu bahwa ungkapan sepihak dari Belanda tersebut sama sekali tidak benar. Penetapan istilah Dajakers hanyalah bentuk topeng politik yang mereka buat dalam rangka memecah belah kesatuan budaya Indonesia.
Dalam esainya, Kusni Sulang menuturkan bahwa sejak dahulu Budaya Dayak merupakan Budaya Kaharingan yang menyimpan berbagai hasanah tersendiri. Mulai dari nilai-nilai lokal hingga moral universal. Sebagai contoh adalah adigium masyarakat Uluh Itah yang berujar ain ni ain (kita adalah satu). Pepatah tersebut juga senada dengan slogan Bangsa Indonesia yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika. Secara otomatis, pepatah Dayak yang tidak lebih dari tiga kata diatas juga menyimpan kekuatan maha dahsyat, yang mampu memperkokoh eksistensi mereka dalam ranah lokal maupun nasional, yakni pernyataan kesatuan.
Kumpulan beberapa esai dalam buku ini sesuai dengan judul di cover depan, "Budaya Dayak; Permasalahan dan Alternatifnya". Dimana esai dalam buku ini membahas secara runtut dan perlahan Budaya Dayak, disamping juga permasalahan-permasalahan yang muncul. Mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, sampai masalah gender di tengah masyarakat Dayak. Sebagai bekal penghantar, buku ini bisa dikatakan sebagai suguhan lengkap. Selanjutnya terletak pada kesadaran generasi muda yang diharapkan mampu mendukung dan mengembangkan budaya lokal ke arah nasional, bahkan dalam tataran internasional.
Genersi muda yang benar-benar paham mati arep ah dan marega arep ah, tentu sadar akan budaya diri, bangga, kemudian siap bergerak dalam arus medernitas tanpa harus menanggalkan baju kedaerahan. Ingat, pembaratan (westernisasi) yang mengacuhkan budaya asal bukanlah modernitas tanggap zaman, melainkan harakiri budaya. Sebagaimana akar istilah modern itu sendiri, yang brarti kekinian. Artinya, manusia modern bukanlah mereka yang seratus persen mengadobsi kebudayaan barat, melainkan masyarakat yang benar-benar sadar bahwa dirinya berada dalam masa yang mampu memberikan perubahan positif akan keberadaannya sekarang ini.
Setelah sadar akan makna modernitas, alangkah bijaknya jika kesadaran tersebut diaplikasikan untuk menyusun langkah. Langkah yang membantu menerangi budaya kita sendiri. Untuk mengawalinya, cukuplah kiranya pepatah ain ni ain.
Bersatulah Dayakku, kukuhkan Indonesia!

   *)peresensi adalah mahasiswi jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunankalijaga Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts