Drama Gong; Teater Rakyat yang Mendayung di Ranah Modernitas

Oleh: Zainuddin*)

Drama Gong adalah salah satu seni pertunjukan tradisional Bali yang meskipun umurnya masih relatif muda, namun sangat populer di mata masyarakat. Hal ini disebabkan dalam Drama Gong, unsur-unsur tradisional dan modern dikomodifikasikan sedemikian rupa, sehingga membentuk suatu jalinan kesenian utuh yang integratif. Menurut beberapa pengamat, kolaborasi itu dimaksudkan agar Drama Gong tetap eksis sebagai kesenian yang digemari masyarakat Bali yang sentimen style medernitasnya sangat kuat. Ini merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa dan sangat jarang diperoleh pekerja kesenian di daerah lain.
Seni pertunjukan Drama Gong dideklarasikan secara resmi sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya, seorang budayawan Bali asal Abianbase Gianyar bersama kawan-kawannya. Para deklaratornya mengakui bahwa Drama Gong ini memadukan unsur-unsur teater tari tradisional Bali seperti Sandratari, Arja, Prembon, dan Sandiwara dengan corak dan konstruksi teater modern yang telah dan tengah berkembang di Barat, utamanya di Eropa dan Amerika. Upaya ini cukup berhasil, karena dapat menarik simpati masyarakat Bali. Masyarakat gandrung menampilkan seni pertunjukan Drama Gong dalam setiap upacara-upacara penting, seperti upacara adat, agama, perkawinan serta kepentingan kegiatan sosial.
Sebenarnya, nama Drama Gong ini sejak awal dikenal dengan sebutan Drama “Klasik”. Karena pada saat itu seni pertunjukan ini hanya menyuguhkan tontonan-tontonan drama klasik, terutama dari kisah pewayangan. Dalam tarik-ulur mengenai kreativitas, lalu para pekerja Drama Gong berinisiatif untuk mengafirmasi corak konstruksi kesenian lain dalam model kesenian ini. Corak dan bentuk teater tradisional Bali yang banyak diafirmasi ke dalam Drama Gong ini adalah drama-drama yang pada umumnya sering menampilkan lakon-lakon kuno yang bersumber pada cerita-cerita romantis, seperti cerita Panji (Malat), cerita Sampik Ingtai dan kisah sejenis lainnya, termasuk juga cerita-cerita yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali sebagai sekedar sampiran.
Upaya ini cukup fantastis. Namun, baru setelah inisiatif cerdik dengan menghadirkan aroma “Barat” dalam seni pertunjukan tradisional Bali yang satu ini, pencapaian yang amat luar biasa dan mengesankan terniscayakan. Disamping masyarkat lebih antusias dalam mengapresiasi, tawaran tampil juga membludak dan pada akhirnya kesenian ini diakui oleh pemerintah.
Bersamaan dengan itu pula, sebutan Drama “Klasik” kemudian dirubah menjadi Drama Gong. Pengambilan nama ini didasarkan pada dua unsur baku dalam kesenian Drama Gong itu sendiri, yakni “drama” dan instrumen gamelan “gong”. Nama itu diberikan oleh I Gusti Nyoman Panji, salah satu Budayawan Bali yang sangat populer.

Unsur Kesejarahan
Dalam sejarahanya, pada tahun 1967 perkembangan kesenian Drama Gong cukup membanggakan. Pada tahun ini seni pertunjukan Drama Gong mampu menarik simpati masyarakat Bali secara luas. Bersamaan dengan perkisaran tahun itu pula, kesenian tradisional Bali seperti Arja, Topeng, dan lainnya mulai dan telah tergantikan oleh Drama Gong. Panggung-panggung besar kesenian selalu tak luput dari penampilan para pelaku Drama Gong.
Pertambahan tahun ternyata semakin mengantarkan seni pertunjukan Drama Gong pada puncak kejayaannya. Pada tahun 1970, Drama Gong kian fenomenal dan tidak hanya mampu menarik simpatik masyarakat Bali, orang yang bukan asli penduduk Bali pun sangat senang dengan pertunjukan kesenian tersebut, bahkan para turis. Betapa pada saat itu adalah tahun paling bersejarah bagi Drama Gong.
Namun mencapai pertengahan tahun 1980, semenjak I Gusti Nyoman Panji–seorang budayawan Bali sekaligus orang yang mempunyai peran penting di dalam perjalanan Drama ini sudah wafat, kepopuleran seni pertunjukan ini mulai menurun. Ditambah lagi oleh rendahnya intensitas dan agrasifitas generasi penerusnya. Lebih-lebih setelah kesenian Drama Gong mulai dikomersialkan dengan menarik karcis dari para penonton. Maka indikasinya, kesenian ini tidak lagi bermasyarakat. Hanya kalangan “beruang” saja yang dapat menikmati pertunjukan Drama Gong pada waktu itu. Oleh karenanya, konsekuensinya ialah lemahnya antusiasme masyarakat Bali pada kesenian ini dikarenakan eksklusivitasnya itu. Dengan demikian, Drama Gong lalu kurang populer di tengah-tengah masyarakat luas.
Namun untung pada tahun 1985, kesenian ini tertolong oleh hadirnya Ida Bagus Anum Ranuara. Ia mulai menghidupkan Drama Gong lewat Sanggar Mini yang diasuhnya dan didukung oleh para pelaku Drama Gong yang masih bersemangat untuk mengangkatnya kembali. Hingga saat ini, dengan kembalinya Drama Gong sebagai kesenian yang lebih inklusif bagi masyarakat luas, upaya untuk mempertahankannya sangat digalakkan dengan membuka ruang-ruang kursus dan sanggar-sanggar kecil di berbagai daerah, serta prosedur dan administrasial yang telah dibakukan.

Unsur Pementasan
Pementasan Drama Gong ini biasanya di mainkan oleh kurang lebih sembilan orang laki-laki dan perempuan. Ragam pelakon ini terdiri dari raja manis, raja buduh, putri manis, raja tua, permaisuri, dayang-dayang, patih keras, patih tua, dan dua pasang punakawan. Unsur-unsur ini memang sangat kontras jika dibandingkan dengan Menolog Monoplay pada teater modern. Demikian pula dari segi busana dan asesoris para pemainnya, sistem dan bentuk berdialog, hingga desain panggung.
Para pelakon Drama Gong mengenakan busana tradisional Bali. Sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang telah diberikan oleh sang sutradara pada setiap pemain. Setiap perubahan suasana dramatik dalam tiap-tiap lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan Gong Kebyar­ dari balik layar.
Sementara dalam seting panggung yang digunakan dalam seni pertunjukan ini tergantung situasi dan kondisi dimana Drama Gong ini dipentaskan. Tetapi dalam koridor masih menggunakan desain dalam beragam asesoris dan seting dalam megatur suasana berjalannya sebuah pentasan dalam setiap adegan-per-adegan.
Di sini juga perlu diketahui bahwa dalam Drama Gong sangat dijauhi akting model surialisme maupun absurd teater modern. Justru sangat ditekankan akting realistis, supaya pesan moral mudah ditangkap oleh para penonton, melalui dialog-dialog verbal yang berbahasa Bali.
Drama Gong ini biasanya diselenggarakan di malam hari, sekitar jam 20.00 sampai selesai, dalam sebuah pertunjukan yang hanya memakan waktu kurang-lebih satu jam. Sebelum pertunjukan di mulai, biasanya di awali dengan prolog berupa macapat seperti dalam tradisi Jawa dengan iringan tabuhan gamelan. Ini dimaksudkan untuk merangsan kesan para penonton.
Macapatan itu berisi instruksi kearifan-kearifan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat waktu itu, tema cerita dalam Drama Gong digelar. Namun letak penting dari antusiasme masyarakat Bali ialah bukan karena dimensi estetik tampilan Drama Gong yang telah dikomodifikasi dari unsur-unsur tradisional-modern ini, tetapi kerena selain di dalam lakon Drama Gong banyak mengandung daya magis, masyarakat Bali juga menganggap bahwa seni pertunjukan ini dapat menjadi obat mujarab untuk menghibur jiwa yang dalam kesehariannya suntuk dengan pergolakan, baik pergolakan dalam lanskap sosial-kemasyarakatan maupun keluarga.    ***



*)Zainuddin, Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.



0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts