MELACAK DEGRADASI POLITIK RAJA-RAJA ISLAM JAWA ABAD XVII

Oleh: M. Romandhon MK[1]

Abtraksi
            Fase baru dalam sejarah kerajaan Islam di Jawa adalah tatkala Keraton Pajang dipindah ke Mataram. Dari situlah riwayat kerajaan Mataram (1586) tumbuh dan nantinya memenuhi sejarah Indonesia jaman madya. Semenjak berdirinya, Mataram sering mendapat banyak tentangan, lebih-lebih lagi ketika ia menunjukkan politik ekspansinya. Bentrokan pertama terjadi tahun 1586, yaitu dengan Surabaya. Dengan perantara Sunan Giri pertumpahdarahan dapat dicegah. Dalam insiden itu, Surabaya tidak ditundukkan, tetapi bersedia mengakui kekuasaan atas Senapati sebagai penguasa tanah Jawa. Dari sekelumit tentang politik ekspansi Mataram itulah awal mulai pergolakan politik berskala nasional tumbuh.

A.     Pendahuluan
Berbicara tentang kerajaan Islam Jawa pada abad ke-17 ada hal yang sangat menarik untuk ditelusuri dan dikaji. Pasalnya abad ke-17 adalah abad penentu terhadap maju-mundurkan kerajaan Islam Jawa. Kaitanya dengan hal itu, bahwa pada abad tersebut telah terjadi gelombang degrasasi politik secara besar-besaran.
Diskursus tentang pudarnya politik raja-raja Islam Jawa setidaknya merupakan fenomena tersendiri di tengah keadaan perekonomian yang sesungguhnya sedang mengalami perkembangan pesat. Ini artinya, bagaimana mungkin, ketika suatu wilayah yang mana para pemimpinnya (raja) dalam pergulatan politiknya sedang amburadul, justru di sektor ekonomi sedang mengalami kemajuan yang subur.
Fenomena inilah yang mendasari mengapa saat-saat semacam itu, justru politik para raja-raja Islam mandul. Pudarnya politik raja-raja Islam Jawa sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari situasi kerajaan Mataram. Mataram mencapai puncak kejayaannya ketika berada di bawah nahkoda raja ke-3, yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Melalui pemerintahan Raja Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram mendominasi seluruh tanah Jawa, kecuali Banten dan Batavia. Bukan sekedar raja, Sultan Agung juga merupakan seorang pejuang hebat di Jawa, yang dengan gigih melawan kolonialisme Belanda.
Pasca Sultan Agung mangkat, Kerajaan Mataram selanjutnya dijabat Sultan Amangkurat I (1645-1677). Pada masa pemerintahannya, masa kejayaan Mataram pun lambat laun mulai memudar. Raja-raja berikutnya juga tidak mampu membawa Mataram kembali ke masa jayanya. Daerah-daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Mataram, satu per satu berusaha memisahkan diri. Akhirnya, setelah dikacaukan oleh berbagai kudeta (pemberontakan), seperti Pangeran Trunojoyo dari Madura yang mendirikan keratonnya di Kediri (1677-1680) dan Untung Surapati yang kemudian berkeraton di Pasuruan (1686-1703), Mataram pun terjerumus dalam tiga perang suksesi, yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757)[2]. Insiden yang kemudian memunculkan tiga perang suksesi tersebut merupakan salah satu cikal bakal dari kekeroposan baik intern maupun ekstern Kerajaan Mataram Islam.

B.     Benih Kemelut di Tingkat Elite Politik
Runtuhnya kerajaan Majapahit setidaknya telah menjadi penanda atas berakhirnya kerajaan Hindu di Jawa. Bersamaan dengan itu pula telah lahir benih-benih kerajaan baru yaitu kerajaan Islam. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa kerajaan Islam seperti, Pajang, Mataram dan  Demak. Abad 17 adalah abad yang boleh dikatakan sebagai abad yang penuh dengan kemajuan dan perkembangan. Khususnya kemajuan pesat di kesultanan-kesultanan (abad ke-16-abad ke-18)[3].
Namun, yang susah untuk dimengerti, mengapa justru ketika pada abad 17, pamor politik para raja-raja Islam Jawa mengalami kemrosotan bahkan pemudaran. Apa sesungguhnya yang melatar belakangi pudarnya politik raja-raja Jawa abad ke-17. Bukankah ini sangat ironis. Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa; Silang Budaya, Warisan Kerajaan Konsentris, kerajaan Jawa seperti Mataram pada akhir abad 16 sampai awal abad ke-19 sedang memasuki masa-masa renaisans[4]. Masa-masa renaisans ini dikatakan Denys Lombard yakni dengan lahirnya kembali sistem kerajaan Majapahit pada kerajaan Mataram Islam.
Apabila logika perubahan ekonomi dan sosial yang telah menjatuhkan dan akhirnya melenyapkan sistem kerajaan pada awal abad-16 masih dapat diterima akal. Namun agaknya lebih sangat sulit dimengerti mengapa sistem itu dapat muncul kembali kurang dari seabad kemudian. Akantetapi, memang demikianlah kenyataan politik disekitar tahun 1586. Keluarga raja-raja Mataram memulihkan monarki demi kepentingannya sendiri, dan menyatukan kembali wilayah Jawa di bawah kekuasaannya[5].
Meski disebut-sebut sebagai masa-masa renaisans, toh kenyataannya pergulatan politik di tingkat para elite raja justru mengalami degradasi yang sangat signifikan. Rakyat-rakyat kecil secara berangsur-angsur telah apatis terhadap politik para raja-raja Jawa saat itu. Apa sesungguhnya yang menyebabkan politik ditingkat raja-raja itu melapuk? Berikut adalah beberapa indikasi yang melatar belakangi fenomena pudarnya politik raja-raja Jawa abad ke-17;

1). Kemelut Konflik Berkepanjangan Antar Raja-Raja Lokal.
Perlu diketahui bahwa penguasa penting pertama adalah Aria Penangsang dari Jipang, di daerah Bengawan Solo bagian tengah, tepat diutara negeri Wengker yang telah berkembang pada abad ke-14[6]. Arya Penangsang dikenal sebagai yang mahir dalam bidang pembunuhan politik. Terbukti ia mampu menyingkirkan dua rival terberatnya, yakni penguasa Jepara dan Sultan Demak sendiri, yaitu Prawata (kira-kira 1568).
Namun gerakan Arya Penangsang tersebut pada akhirnya mampu dipatahkan oleh Jaka Tingkir, dan ia pun terbunuh secara mengenaskan melalui pertarungan satu lawan satu. Saat itulah Jaka Tingkir kemudian mendapat gelar Adiwijaya, sekaligus menjadi penguasa Negeri Pajang. Pengesahan Joko Tingkir sebagai raja pertama Pajang disahkan oleh Sunan Giri dan langsung mendapatkan pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur[7]. Berangkat dari itulah benih-benih pertikaian di raja-raja jawa Islam mulai menampakkan geliatnya. Setelah Jaka Tingkir meninggal dunia pada tahun 1587, para penggantinya tidak dapat mempertahankan pemerintahannya. Ahli waris Sultan Pajang ialah tiga orang putra menantu; yaitu raja di Tuban, raja di Demak, dan raja di Araos Baya, di samping putranya sendiri, juga Pangeran Benawa[8].
Setidaknya hampir dua puluh tahun memimpin, akhirnya Jaka Tingkiir digeser oleh salah seorang vasalnya dari barat, Senapati dari Mataram (1575-1601). Senapati ini adalah anak Ki Gede Pemanahan. Seluk-beluk serangan-serangan militer yang dilancarkan berturut-turut oleh oleh Senapati  dan anaknya (Seda ing Krapyak, 1601-1613), serta cucunya (Sultan Agung, 16-13-1645) untuk menyatukan negeri-negeri Jawa dan memperkukuh kekuasaan mereka atas kota-kota pesisir seperti Demak, Pati, Lasem, Gresik, Giri, dan Surabaya[9].
2). Benih Keretakan dalam mempertahankan wilayah taklukan.
Konsep tatanegara Kerajaan Majapahit dengan menyatukan kerajaan di Jawa yang kemudian menjadi center state, telah menginspirasi Mataram untuk mengulangnya kembali. Dan keinginan itu sedikit banyak telah terwujud. Untuk mempertahankan kekuasan mereka atas wilayah yang telah mereka taklukan, raja-raja Mataram memakai pelbagai cara yang beberapa diantaranya agaknya dipinjam dari Majapahit. Salah satunya dengan mewajibkan penguasa-penguasa daerah, terutama yang kuat,  untuk tinggal di keraton beberapa bulan dalam setahun. Kalau penguasa daerah itu pulang, ia diwajibkan untuk meninggalkan salah satu anggota keluarga dekatnya sebagai sandera di keraton[10].
Namun kelihatannya politik penguasa pusat semacam itu ternyata lambat laun tidak mendapatkan respon yang positif dari para penguasa-penguasa daerah. Pasalnya dengan cara seperti itu seolah keberadaan para penguasa daerah bagaikan terpasung. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penguasa lokal untuk membebaskan belenggu tersebut. Pada perkembangannya, mereka kemudian dimanfaatkan sebagai algojo resmi atau untuk pembunuhan dan perbuatan tercela lainnya. Contoh Mataram maupun Aceh menunjukkan kehendak untuk untuk mendirikan sekelompok kaki tangan raja. Dalam kasus Jawa terdapat pula keyakinan bahwa kelompok tersebut harus dikendalikan secara ketat agar dapat mengawasi wilayah yang luas[11].
3). Gagal Menyelamatkan Kerajaan yang Utuh.
Setelah berbagai upaya untuk mempertahankan keutuhan kerajaan Jawa yang besar dan satu, mengalami berbagai kendala. Nampaknya usaha untuk mendirikan sebuah kerajaan yang luas, terorganisir rapi dan bersatu tidak bertahan lama sesudah pemerintahan Sultan Agung dan Amangkurat I. Tak bisa dipungkiri, bahwa kepemimpinan Sultan Agung lebih dikenal dengan politik ekspansinya sehingga dia bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya, melainkan wilayah Nusantara[12].
Akbibatnya pasca pemerintah Sultan Agung dan Amangkurat I, pada 1675 kerusuhan pecah. Setelah kekisruhan itu, akhirnya raja-raja Mataram gagal memulihkan kekuasaannya atas keseluruhan tanah Jawa[13]. Ketika pada tahun 1755 perdamaian kembali tercapai, namun kerajaan sudah pecah untuk seterusnya. Priangan yang merupakan inti tanah Pasundan, segera lepas dari pengawasan para sunan. Pada tahun 1667, Citarum ditetapkan sebagai perbatasan. Pada tahun 1705 perbatasan itu dimundurkan sampai ke Cirebon[14]. Dengan demikian dapat dipastikan jika Jawa Barat sudah berada di luar sistem kerajaan Jawa dan menjadi semacam ”tanah tak bertuan“.
4). Munculnya pemberontakan wilayah-wilayah lokal
Bagai telur di ujung tanduk, situasi pemerintah di Mataram secara de facto telah diambang kehancuran. Satu persatu lepas dari kesatuan kerajaan Mataram. Bahkan di Jawa Tengah sendiri, para penguasa lokal kurang rela mengakui kedaulatan Mataram. Pada akhir pemerintahan Amangkurat I sudah ada yang mencoba memberontak seperti terlihat pada peristiwa yang dinamakan “persekongkolan Kajoran“ (1672-1677)[15]. Tidak lama berselang kemudian pangeran-pangeran pemilik lungguh dan bahkan anggota keluarga sendiri menentang kekuasaannya.
Alhasil, wilayah inti kesunanan abad ke-17 dibagi menjadi tiga “kerajaan“ yang terpisah-pisah. Sementara itu, keadaan di wilayah Jawa Timur situasinya jauh lebih kacau lagi. Daerah bekas jantung Majapahit itu terus menerus memberontak dan tanpa disadari telah menjelma basis berbagai pembangkang. Dan pada akhirnya meletuslah peristiwa yang terkenal dalam sejarah tradisional sebagai “tiga Perang Suksesi“[16]. Perang Suksesi pertama, ketika Amangkurat II meninggal dunia, dan menyangkut anaknya, Amangkurat III melawan saudaranya Pangeran Puger, yang bergelar Paku Buwana I.
5). Adanya ikut Campur Pihak Kompeni
Pudarnya politik para Raja Jawa Islam semakin nampak sekali, ketika pihak kompeni mulai ikut campur di dalam kekuasaan kerajaan. Di luar dugaan kejadian-kejadian ini dengan sangat cepat sekali menyebabkan keruntuhan Mataram karena pemberontakan di dalam negeri dan kekerasan dari luar negeri. Semenmtara itu, kompeni yang semula merupakan lawan kemudian menjadi pelindung dinasti , sehingga pada akhir kisah ini sang putra raja yang terusir dari Keraton, karena putus asa, lalu merangkul Batavia[17].
Ketika Paku Buwana I meninggal, salah seorang putranya, Mangkunegara, naik takhta menggantikan Paku Buwana I dengan dukungan Kompeni yang sudah mempunyai garmisun di Kartasura[18]. Hal inilah yang kemudian menjadikan persoalan yang ada di dalam internal kerajaan berdampak sistemik. Terbukti kemelut dinasti pecah, dan beberapa pangeran dari keluarga raja sendiri, terutama kedua saudara Paku Buwana, yaitu Mangkubumi dan Mangkunegara, terlibat dalam pertarungan terbuka. Ketika Paku Buwana II wafat di surakarta pada tahun 1749, ia boleh dikatakan menitipkan kerajaannya kepada Kompeni agar Kompeni mendukung hak anaknya, yang bakal menjadi Buwana III (1749-1788)[19].
Tidak bisa dipungkiri bahwa pudarnya politik raja-raja jawa Islam tak lepas dari politik adu domba yang diterapkan oleh pihak kompeni. Pengaruh itu begitu terasa terhadap munculnya wacana pemberontakan. Kesan yang lebih ekstrem lagi ditimbulkan oleh per-utusan yang datang ke Batavia dan sambil menyampaikan hadiah, atas nama Pangeran Adipati  Anom yang meminta kuda persia kepada pemerintah kompeni[20].

C.     Kesimpulan
Pasca kemelut politik di tingkatan raja-raja tidak serta merta membuat segalanya gagal total di tubuh kerajaan. Terbukti setelah perjanjian Gianti tahun 1755 dan 1757, jelas secara kekuasaan hal itu sangat tidak menguntungkan, namun dari Gianti tersebut sesungguhnya menjadi peristiwa penting dalam dinamika sejarah Kerajaan Mataram. Kondisi tersebut telah merenggut impian untuk membentuk sebuah tatanan kerajaan Jawa yang utuh oleh raja-raja pertama. Seluruh Jawa Barat, seperti juga pesisir utara dan “ujung timur“ Pulau Jawa telah dikuasai Kompeni.
Namun, kegagalan politik raja-raja itu diimbangi  oleh sukses ekonomi daerah-daerah pedesaan. Mulai tahun 1755 Jawa mengalami suatu masa perdamaian yang akan merentang sampai 1825. produksi pertanian bertambah banyak, dan kesejahteraan umum membaik[21]. Bahkan Denys Lombard mengutip Rafles dalam bukunnya History of Java, menjelaskan bahwa “sedikit negeri yang rakyatnya bisa makan sebaik di Jawa. Jarang orang pribumi yang tidak dapat memperoleh satu kati beras yang dibutuhkan per hari. Nasi itu dimakan dengan ikan, sayur-sayuran, garam dan bumbu-bumbu lain...“[22].
Selain itu dominasi Islam tampak pada tingkat sosial mengalami kemajuan pesat diberbagai kesultanan, dan itulah gejala terpenting pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18[23]. Inilah yang kemudian oleh penulis sebut sebagai kesuksesan ekonomi pedesaan di tengah-tengah ketegangan dan kegagalan para raja-raja Jawa Islam di kancah dunia politik. Bagaimanapun kesuksesan di bidang ekonomi tatkala memuncaknya kegalauan politik di tingkat elit Raja Mataram adalah potret bahwa pertikaian politik tidak selamanya berdampak kesengsaraan, meski ketimpangan sosial lain tetap akan muncul dalam sebuah polemik, apalagi dalam ranah kekuasaan.


Daftar Pusataka

-          Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia, 2008
-          Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Warisan-Warisan Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia, 2008
-          Dr, H.J. De Graaf, Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: Grafitipers, 1987
-          Drs. R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1973
-          Mundzirin Yusuf dkk,  Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka, 2006


[1] M. Romandhon MK: Mahasiswa Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam, Faklutas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[2] Dr. H.J. De Graaf, Runtuhnya Istana Mataram, (Jakarta: Grafitipers, 1987), hal 49.
[3] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Jaringan Asia, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal 47
[4] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal 35
[5] Ibid, 35
[6] Ibid, 36
[7] Mundzirin Yusuf dkk,  Sejarah peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hal 81.
[8] Ibid, hal 82.
[9] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Warisan-warisan Kerajaan konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal 36.
[10] Ibid, hal 38.
[11] Ibid, hal 42.
[12] Mundzirin Yusuf dkk,  Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hal 85
[13] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Warisan-warisan Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal 44.
[14] Ibid, hal 44.
[15] Ibid, hal 45.
[16] Ibid, hal 45.
[17] Dr, H.J. De Graaf, Runtuhnya Istana Mataram, (Jakarta: Grafitipers, hal 1.
[18] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Warisan-warisan Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal 45.
[19] Ibid, hal 46.
[20] Dr, H.J. De Graaf, Runtuhnya Istana Mataram, (Jakarta: Grafitipers, 1987), hal 13.
[21] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Warisan-Warisan Kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2008), hal 46.
[22] Ibid, hal 47.
[23] Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Jaringan Asia, (Jakarta: Gramedia, 2008), hal 50.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts