Digitalisasi Aksara Nusantara

 Oleh  Muh. Muhlisin

            Aksara adalah mercusuar peradaban yang darinya titik terang perjalanan kebudayaan bisa diidentifikasi. Peran penting aksara sudah tidak bisa diragukan lagi dalam perannya sebagai ibu yang darinya tradisi sejarah dimulai dan duta bagi kebudayaan. Berkat kemampuannya yang spesifik dan mampu berbuat lebih banyak dari bahasa. Sifat aksara yang sangat dinamis dan responsif terhadap perkembangan teknologi betul-betul menolong terhadap eksitensi dan transformasi kebudayaan dalam suatu komunitas masyarakat.
            Disadari atau tidak aksara adalah pembatas peradaban sebuah bangsa. Begitu prestisiusnya aksara bagi perkembangan peradaban suatu bangsa, aksara nusantara memiliki keberagaman dan kekhasan tersendiri yang tidak dimiliki negara-negara lain. Dalam bingakai sejarah Indonesia, aksara nusantara dapat digolongkan menjadi beberapa periodisasi berdasarkan zaman kemunculan dan atau dipergunakannya aksara-aksara di nusantara. Periodisasi atau pemetaan-pemetaan itu setidaknya teridentifikasi menjadi empat, yakni, klasik, pertengahan, kolonial dan modern.
            Di zaman klasik aksara nusantara terdiri dari Aksara Palawa, muncul pada abad ke-4, Aksara Siddhamatrka, muncul abad ke-7 dan Aksara Kawi, abad ke-8 sampai abad ke-16. Zaman pertengahan diawali dengan munculnya Aksara Buda, Aksara Sunda Kono (abad ke-14 sampai ke-16) dan Aksara Proto-Sumatra. Di zaman kolonial dapat ditemui berbagai jenis aksara, seperti Aksara Batak, Aksara Rencong, Aksara Lampung, Aksara Jawa, Aksara Bali dan Aksara Lontara. Sedangkan di zaman modern terdapat Aksara Sunda Baku.
            Keempat fase tersebut menjadi penanda dalam proses fajar aksara yang berkembang di nusantara. Sejak ditemukannya aksara pertama hingga populernya Aksara Latin dan mulai tersingkirnya aksara daerah di zaman modern ini menjadi gambaran mutlak yang mesti kita pahami. Apalagi, ragam aksara yang begitu banyak di Indonesia dalam konteks kekinian semakin pudar dan tenggelam. Ini sangat berbeda jauh dengan Jepang, Cina dan kawasan Timur Tengah yang tetap mempertahankan aksara mereka.
            Hal ini menjadi keniscayaan bagi perkembangan aksara nusantara. Mereka tersisih dan tertinggal di sudut-sudut subaltern hingga akhirnya menjadi artefak lokal yang gagal menjadi pemain di kancah global. Dari kegelisahan ini berbagai upaya terus dilakukan oleh beberapa generasi muda Indonesia dan pemerintah. Hal ini karena, berkat aksara lah sejarah bangsa Indonesia terukir lewat lembaran-lembaran daun lontar, bebatuan, dinding-dinding gua dan bilah-bilah bambu. 
            Upaya yang dilakukan anak muda Indonesia dan pemerintah ini menemukan momen yang pas dalam roda zaman yang terus berputar. Di mana perkembangan teknologi saat ini telah menjadi tamu istimewa bagi semua umat manusia. Lewat media publik seperti, perpustakaan, koran atau majalah dan internet, aksara-aksara nusantara berusaha dihadirkan diranah publik meskipun dalam bentuk yang baru, menyesuaikan dengan roda zaman.
            Dalam hal ini, nampaknya internet menjadi salah satu alternatif yang begitu efektif untuk membuka keran demokrasi aksara. Sebab, internet dalam konteks kekinian telah mengubah prilaku manusia dari kebudayaan material (material cultur) menuju kebudayaan virtual (virtual cultur).
            Peralihan kebudayaan ini dalam konteks keaksaraan, internet telah mengubah manusia dari masyarakat kertas (paper society) menjadi masyarakat nir-kertas (paperless society), (Yasraf Amir Piliang, dalam Setiawan Sabana dan Hawe Setiawan, 2005:222). Kecanggihan internet dengan berbagai fasilitas di dalamnya memberikan ruh bagi perkembangan aksara nusantara. Walaupun belum sepenuhnya, minimal lewat internet kita bisa melihat naskah atau teks serta cara baca aksara-aksara yang ada di nusantara. Tidak perlu lagi membuka buku berdebu diperpustakaan-perpustakaan, tetapi cukup menjalankan pengetikan beberapa suku kata di search engine, dokumen yang dimaksud akan hadir di monitor komputer.
            Hiroh baru keberaksaraan nusantara lewat digitalisasi aksara nusantara di Tanah Air semakin terlihat jelas ketika internet mulai digunakan di Indonesia   sejak 1993 silam. Sampai saat ini, setidaknya ada direktori beberapa aksara yang sekarang sudah masuk unicode sebagai langkah awal pembuatan domain aksara nusantara. Pada tahun 2010 terdapat lima aksara nusantara yang sejauh ini dimasukkan direktori unicode, yaitu, Aksara Bugis, Aksara Bali, Aksara Rejang, Aksara Sunda pada tahun 2008 dan terakhir Aksara Jawa yang diresmikan oleh Unicode pada tanggal 2 Oktober 2009, (M. Sanusi dalam buku Aksara-Aksara Nusantara, 2010:82).
            Perhatian khusus terhadap keberadaan aksara-aksara nusantara yang dilakukan oleh pemerintah lewat digitalisasi aksara dengan media internet ini, nampaknya telah mengilhami generasi muda Indonesia untuk turut memperhatikan ragam aksara yang ada di Indonesia. Wujud perhatian itu sangat nampak dalam pengertian Jogja Mural Forum. Di mana bahasa, termasuk tulisan atau aksara divisualisasikan hingga menyentuh dimensi-dimensi sosial.
            Salah satu yang menarik adalah karya Edi Jatmiko, salah satu mahasiswa DKV ISI Yogyakarta yang mengakomodasi bentuk Aksara Jawa kedalam bentuk Roman atau Latin. Berbagai usaha memberi ruang bagi yang lokal dalam tubuh huruf Roman atau Latin juga bisa kita dapati dalam puisinya Sutardji Calzoum Bahri yang menggambarkan Tari Kecak di Bali. Dalam dunia digital, komputerisasi Aksara Jawa sebagai pembelajaran membaca dan menulis telah diciptakan oleh Teguh Budi Sayoga, pun begitu di Bali wacana menerapkan dunia digital untuk jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah ke atas diawali dengan terciptanya dua program Aksara Bali berbasis komputer. 
            Eksplorasi aksara nusantara dalam dunia digital ini merupakan salah satu upaya pengembangan aksara kono yang diakurasikan sejalan dengan kondisi terkini. Sehingga eksitensi aksara nusantara dalam bingkai peradaban bangsa Indonesia dapat diterima dengan mudah secara universal dan tidak hanya bersifat lokal. Meskipun pada taraf implementasinya memerlukan kreatifitas yang cerdas dalam mengadaptasikan nilai-nilai tradisi yang pernah berjaya di masa lampau kedalam kemasan yang up tu date, usaha ini memerlukan tindak lanjut secara continuously dan dorongan dari pemerintah baik secara materiil maupun inmateriil.


Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts