BUDAYA SEBAGAI BAROMETER PERADABAN


Study Atas Peran Budaya dalam Mengimbangi Budaya Global
Oleh: Ach Hisyam

A.    Pendahuluan
            Kebudayaan merupakan produk dari manusia, dilahirkan dari proses historis. kebutuhan akan pola hidup dalam masyarakat dan persinggungan-persinggungan dalam proses historis membuat kebudayaan (staqofah) sebagai akar dari segala sistem-sistem yang ada dalam kehidupan. Kebutuhan akan pola hidup mencangkup model mempertahankan kehidupan, model dalam mempererat jalinan sosial. kemudiayan persingguangan-persinggungan dengan peradaban (hadhoroh), dalam hal ini sering mempengaruhi proses transformasi kebudayaan menuju pada bentuknnya yang sempurna.
            Dalam beberapa kesempatan, Prof Dr KH Aqiel Sirojd selalu mengingatkan bahwa perpaduan antara Hadhoroh (peradaban) dan Staqofah (kebudayaan) akan menghasilkan masarakat yang Tamaddun atau masyarakat madani. Masyarakat madani selalu digambarkan dengan masyarakat yang hidup dalam harkat kemanusiaan yang tinggi dan stabilitas ekonomi dan politik. Masyarakat tersebut dapat dibentuk dengan dua perpaduan yang keduanya saling melengkapi satu sama lain, keduanya saling mengisi kekosongan satu sama lain, dan yang lebih penting keduanya dapat dinikahkan dan melahirkan keturunan yang secara genetik tidak lepas dari karakter orangtuanya (dalam hal ini adalah karakter Hadhoroh dan Staqofah).
B.     Budaya dan Peradaban
            Kebudayaan merupakan salah satu konsep yang luas karena tentangnya terkumpul 179 devinisi yang berbeda, yang kemudian digolong-golongkan berdasarkan asas pemikirannya. Pandangan A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn ini tertuang dalam karya mereka Culture,a critical Review of concepts and devinition (1952) kebudayaan sebagai suatu konsep luas akan menjadi lebih jelas bila dirinci kedalam wujud kebudayaan dan isi kebudayaan. Dilihat dari dimensi wujud, kebudayaan terbentuk atas tiga wujud, yakni: (1) wujud suatu kompleks gagasan-gagasan, konsep-konsep dan pikiran manusia: (2) wujud sebagai suatu komplek aktifitas, dan (3) wujud sebagai benda. Wujud pertama disebut sebagai sistem budaya, yang kedua disebut sistem sosial, dan ketiga sebagai kebudayaan fisik. Ditinjau dari matra isi kebudayaan sering ditonjolkan konsep kebudayaan universal yang dikembangkan oleh B. Malivowski serta seperti beberapa pakar lain seperti G. P. Murdock dsn C. Kluckohn. Yang dimaksud dengan kebudayaan universal adalah unsur-unsur yang terdapat dalam semua kebudayaan umat manusia di seluruh dunia. Unsur-unsur tersebut terdiri atas (1) bahasa (2) sistem teknologi (3) sistem mata pencarian hidup atau ekonomi (4) organisasi sosial (5) sistem pengetahuan (6) kesenian (7) religi[1].
            Budaya dilihat baik dari wujudnya itu sendiri, ataupun dilahat dari matranya tidak lepas dari budaya adalah sesuatu yang dihasilkan dari aktifitas manusia, dikembangkan oleh manusia dan dirasakan oleh manusia. Peran manusia dalam hal ini adalah sepagai produktor sebuah kebuadayaan. Sehingga Kuntjoroningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai cipta, rasa, dan karsa manusia. Dari ketiga katagori yang diberikan oleh Kuntjoroningrat, bahwa kebudayaan merupakan jiwa dari manusia, jiwa yang selalu mengalami perbebadan corak antara satu sama lain bahkan mengalami sebuah fase kemajuan. Namun kita banyak yang tidak sadar akan essensi dari kebudayaan. Essensi yang semestinya menjadi bomereng dalam merespon kebudayaan dalam pertarungan global.
            Kebudayaan bersifat mantap, tapi juga berubah. Ia stabil tapi juga dinamis. Tiap kebudayaan pasti dalam keadaan berubah dalam kemantapannya, karena perubahan alam pikiran dan perasaan. Yang digerakkan oleh perubahan pengalaman. Yang beda dari kebudayaan adalah tempo dari perubahannya. Kebudayaan bersahaja lamban perubahannya, sedangkan kebudayaan modern cepat[2].
            Era modern ditandai dengan era komunikasi dan informasi yang semakin tak terkontrol, kita asik menerima informasi dan wajah-wajah manusia dunia hanya melalui media. Seorang anak yang langsung dengan mudah mendapatkan inspirasi dari sebuah informasi dibandingkan dengan keluarga dan masyarakat sekitarnya, dalam era yang baru ini anak dengan mudah mengetahui berbagai macam corak komunikasasi hanya dari sebuah media informasi (dalam hal ini, media merupakan hasil peradaban Barat), bahkan anak yang baru tumbuh dari belaian orang tuanya langsung dapat menjadi masyarakat global yang ditandai dengan gaya hidupnya (way of life). Hal ini tidak lepas dari pengaruh media yang menampilkan era komunikasi masyarakat.
            Selain istilah kultur (culture) dalam artian kebudayaan dikenal juga istilah sivilisasi (civilitation) kebudayaan seringkali dicampuradukan atau dianggap memiliki arti dan pengertian yang sama. Untuk memudahkan pemahaman, keduanya diartika sebagai berikut.  Culture = kebudayaan, Civilitation = peradaban. Kebudayaan merupakan suatu sikap batin, sifat dari jiwa manusia, yaitu usaha-usaha untuk mempertahankan hakekat dan kebebasanya sebagai makhluk yang membuat hidup ini lebih indah dan mulia. Sementara itu, peradaban merupakan suatu aktifitas lahir yang biasanya digunakan untuk menyebut bagia-bagian dan unsur-unsur yang halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun, pergaulan, kepandayan menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainnya (Koentjaraningrat, 1979: 1989-194). Istilah peradaban juga sering untuk menyebut kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang luas sekali. Walaupun, keduannya sangat erat hubungannya, namun pengertiannya tetap berbeda. Orang yang beradab belum tentu berbudaya[3].
            Peradaban Barat dijadikan wahana dalam memperluas wilayah kebudayaannya sebagai revolusi kebudayaan. Dalam hal ini pepatah yang mengatakan buah tidak akan jauh dari pohon atau anak tidak akan lepas dari orangtuanya ternyata tidak dapat kita temukan dalam proses anak memproduksi kebudayaan. Karena buah yang jatuh dibawah terbang oleh burung sehingga buah tersebut yang terjadi adalah  jauh dari pohonnya. Begitu juga dengan fenomena madern, karakter orang tua hilang tidak diwarisi oleh anaknya bagaikan buah yang hilang jauh dicuri oleh binatang. Begituhalnya juga peran orang tua dicuri oleh media dan anak dalam perkembanganya dibawah jauh dari situasi karakter keluarga menuju wilayah jauh di seberang dunia, yaitu wilayah masyarakat Global. Hal demikian tidak lepas dari peran media.
            Media dewasa ini, sudah sangat akrab dengan keluarga, khususnya media elektronik. Sepanjang hari, kecuali untuk sekolah, anak-anak berada didepan televisi, menyaksikan berbagai acara siarannya. Biasa dibayangkan bila anak-anak itu, seluruh waktunya dihabiskan untuk menonton acara-acara hiburan. Kalaupun ada program pendidikan, acuan nilai dan kepentingannya sudah berbeda dengan konteks pendidikan kita. Tragisnya dewasa ini, televisi dan media lainnya, kata Halloran telah menjadi guru bagi jutaan anak-anak. Dengan demikian media massa telah menjadi agen sosiolasi yang ampuh bagi perkembangan generasi berikutnnya[4].
            Sejarah media adalah sejarah pesan dalam kurun waktu dan ruang tertentu. Menurut Marshall McLuhan dari “ center for technology and Culture Universitas Toronto, Kanada lewat karyannya Undestanding Media: the extensions of man (1964), media adalah pesan  (the medium is the massage). Dalam arti media diartikan lebih dari sebuah wahana dimana pesan ditransmisikan. Media adalah pesan itu sendiri. Kalau semua sifat media adalah isi dari media itu sendiri, sedang isi dari media adalah sebuah informasi yang telah diwujudkan dalam bahasa mengenai realitas, dan pembicaraan merupakan aktualisasi dari proses pemikiran, maka media adalah perluasan dari gagasan dan ide-ide, dan pikiran dari kenyataan sosial. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa Media is  the extensions of man[5].
            Media komunikasi sebagai hasil dari peradaban Barat secara tidak langsung apa yang tergambarkan lewat media adalah kebudayaan Barat yang berusaha menghegemoni. Individualisme merupakan salah satu budaya yang berusaha dan sudah masuk dalam lini-lini kebudayaan Indonesia. Indonesia jauh dari wajah ramahnnya. Namun sejarah perubahan kebudayaan tidak memandang peradaban sebagai alat dalam menghegemoni budaya, melainkan dipandang sebagai hasil dari sebuah kebudayaan semata. Masyarakat Arab masih tetap sebagai masyarakat qobilah bukan masyarakat kesukuan (Syu’ubiyah) meskipun melalui perdagangan Penduduk Arab banyak bersinggungan dengan peradaban Romawi dan Persia.
            Perkembangannya, kebudayaan Indonesia terus mengalami penyusutan yang endingnya adalah lose of identity. Hal demikian sudah kita rasakan sampai detik ini, dimana Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah banyak yang meninggalkan bahasa daerah bahkan bahasa Indonesia yang menjadi lambang intergrasi nasional. Kita sering melihat diujung jalan atau iklan-iklan yang berjejeran dijalan sudah malu untuk menggunakan bahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. Hal ini tidak lepas dari pertarungan kebudayaan sehingga yang menjadi juara biasa kita kenal dengan hegemoni budaya. Hal demikian tidak lepas dari peran media sebagai perluasan dari gagasan, ide-ide dan pemikiran dari kenyataan sosial. Kenyataan sosial yang ditampilkan adalah kenyataan yang terjadi dalam kilauan kehidupan global bukan wajah Indonesia.
            Permasalahannya adalah bukan berarti dalam konteks kebudayaan Indonesia tidak menerima perubahan, karena di manapun keberadaannya perubahan tidak dapat ditolak. Melainkan permasalahannya adalah kenapa kebudayaan kita dengan mudahnya digantikan dengan budaya global (revolusi budaya), yang baru dikenalkan setelah revolusi Industri. Perubahan dalam sebuah masyarakat merupak sebuah keharusan, namun bagaimana pola perubahan tersebut? Apakah perubahan yang dikehendaki seperti yang terjadi dewasa ini?
C.    Kembali Pada Khittoh Kebudayaan
Media menggambarkan adanya proses dalam mempengaruhi masyarakat baik dalam pembentukan nalar maupun karakter nalar yang ada. Penggunaan kata “nalar” sebagai pengalihan dari pemikiran sebagai perangkat berpikir (al-fikr bi washfihi ‘adalah li al-fikr)[6]. Nalar dari setiap masyarakat memiliki perbedaan masing-masing. Perbedaan tersebut dihasilkan oleh proses sejarah masyarakat tertentu. Lalande berusaha memberi pemahaman berkaitan dengan nalar sebagai ciri dari masyarakat tertentu dan nalar sebagai kenyataan yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Lalande membedakan antara nalar pembentuk atau aktif (al-aqlu al-mukawwin au fa’il dalam bahasa prancisnnya La Raison Constituante) dengan nalar terbentuk atau dominan (Al-Aqlu Al-Mukawwan au sa’id, dalam bahasa prancisnnya La Raison Constituee). Yang pertama adalah aktifitas kognitif yang dilakukan oleh pemikiran ketika mengkaji dan menelaah serta membentuk konsep dan merumuskan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, nalar aktif adalah naluri yang dengannya manusia mampu menarik asas-asas umum dan niscaya, berdasarkan pemahamannya terhadap hubungan antara segala sesuatu. Di seluruh manusia nalar ini sama. Yang kedua, nalar dominan, adalah sejumlah asas dan kaidah yang kita jadikan pegangan dalam berargumentasi (istidlal). Nalar ini berbeda antara satu periode dengan periode yang lainnya, bahkan berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Menurut Lalande nalar ini berisifat terbentuk  dan berubah sekalipun dalam batas-batas tertentu. Ia eksis dalam periode terentu dan bersifat temporal[7].
            Dalam prakteknya Lalande, menggambarkan bentuk nalar pertama sebagai keharusan yang dimiliki manusia untuk dibedakan dengan manusia, sedangkan yang kedua adalah bentuk nalar yang dibentuk dari pertarungan pengaruh pemikiran dalam era-era tertentu. Perjalanan sejarah membuktikan bahwa hegemoni budaya hanya dapat dimiliki oleh negara yang memiliki poweritas yang tinggi seperti kebudayaan Romawi dan kebudayaan Persia. Dimana poweritas sebuah negara tidak dapat dipisahkan dengan peradaban yang berkembang searah dengan perkembangan budaya itu sendiri. Kebudayaan dalam hal ini tidak keluar dari relnya, dan masih menempati posisinya sebagai hasil dari produksi manusia.
            Bagian kebudayaan dari segi wujudnya, diantaranya adalah segai wujud suatu kompleks gagasan-gagasan, konsep-konsep dan pikiran manusia. Kita akan menemukan konsep-konsep sederhana berkaitan dengan pasang susutnya gagasan-gagasan dan pemikiran manusia. Perdagangan bangsa Arab sebelum Islam menggambarkan bahwa orang-orang arab mengambil manfaat dari bangsa Romawi dan Persi melalui perdagangan. Penduduk Arab dalam hal ini banyak mengadopsi sistem sastra yang berkembang pada masanya dan sistem pemerintahan Romawi dan Persi. Dan tidak hanya itu penduduk Arab Yaman dan Hijaz menggunakan kesempatan kunjungan perdagangannya dengan mempelajari konsep-konsep negara dan Ilmu-ilmunya.
            Peradaban suatu negara terkadang menjadikan kita memiliki perasaan untuk dapat meniru atau mengadopsi apa yang menjadi kebanggaanya. Contoh selain dari peradaban Romawi dan Persia, adalah perkembangan kebudayaan maritim Nusantara. Dalam catatan sejarah sering dijumpai adanya pengaruh-pengaruh bangsa-bangsa lain, India, China, Arab, Persia, dan Eropa. Namun fenomena tersebut tidak menjadikan wajah Indonesia selalu berubah sesuai dengan persinggungan dengan bangsa lain, persinggungan tersebud tijadikan sebagai alat transformasi kebudayaan menuju lebih baik.
            Kesuksesan Islam dalam catatan sejarah perkembangannya adalah kesuksesan dalam mengolah peradaban-peradaban yang ada disekelilingnya. Peradaban yang dihasilkan dari persinggungan-persinggungan dengan peradaban Romawi dan Persia setelah diterimanya Islam oleh penduduk yang berbasis peradaban Romawi maupun Pesia, kebudayaan Arab turut menjiwai pembentukan peradaban yang baru dan mengshasilkan masyarakat tamaddun atau masyarakat madani. Ini adalah proses perkawinan antara peradaban dan kebudayaan. Dalam hal ini Agama dipandang sebagi kebudayaan sistem tingkah laku. Kesuksesan tersebut dalam kacamata sosiologi adalah kebudayaan menjiwai perdaban dan memberikan nuansa baru, sedangkan dalam perspektif agama justru agamalah yang menjiwai peradaban. Sebenarnya dalam hal ini tidak ada permasahan, karena seperti yang disebutkan di atas bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan.
            Begituhalnya perjalanan kebudayaan Indonesia, dari sistem religi animisme dan dinamisme yang berkembang, persinggungan dengan peradaban Hindu-Budha tidak diterima dengan apa adanya, seperti sistem keagamaan, sistem pemerintahan, sistem arsitekturnya maupun sistem sosialnya. Begituhalnnya dengan persinggungan dengan peradaban China melalui perdagangan, nenek moyang kita tidak langsung menerima dengan apa adannya. Belum lagi persinggungan-persinggungan dengan peradaban yang lain dalam era perdagangan maritim. Kesemuannya menghasilkan sesuatu yang berbeda.
            Dalam bidang agama pengaruh jaman megalitthicum di Bali masih merasa kuat. Hal ini terlihat pada bangunan-bangunan pura yang mirip dengan bangunan punden berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, batu-batu besar dan lain-lainnya yang berasal dari jaman sebelum masuknya agama Hindu, tetap tercermin pula di dalam kehidupan masyarat setelah maasuknya agama Hindu. Bahkan sampai sekarang benda-benda dari jaman budaya meghaliticum masih tersimpan dan dipuja-puja bersam-sam dengan patung-patung agama Siwa dan Budha[8]. Proses tersebut menandakan adanya proses kreatifitas dalam masyarakat Indonesia dalam menerima peradaban-peradaban dunia.
            Nenek moyang kita dalam hal ini memegang apa yang disebut oleh Lalande sebagai nalar dominan (Al Aqlu al-Mukawwan) sistem nalar yang dihasilkan oleh perjalan sejarah interaksi individu dalam kelompok, tetap dipertahannkan dalam menciptakan sesuatu yang baru. Perubahan yang dijiwai oleh kearifan lokal, nalar dominan yang melekat dan menjiwai setiyap perjalanan kebudayaan Indonesia, menjadi corak kekhasan yang membedakan dengan kebudayaan disekitarnya.
Senada dengan apa yang mejadi pijikan oleh Zidi Gazalba dalam memahami peruaban budaya sebagai perubahan yang bersifat evolusi[9]. Dengan pemahaman, perubahan kebudayaan itu pasti selama ada persinggungan dengan peradaban yang lainnya, seperti gambaran diatas, kontak antara budaya sulit menghasilkan perubahan tanpa adanya pengenalan peradabannya (unsur-unsur budaya yang halus, maju dan indah) dengan catatan kebudayaan harus menjiwai peradaban. Dan inilah yang ingin disampaikan oleh kang Said berkaitan Kebudayaan + peradaban = masyarakat Tamaddun atau Madani.
D.    Kesimpulan
Peradaban merupakan bentuk budaya halus, diantaranya seni, arsitek bangunan, ilmu pengetahuan, dan sistem pemerintahan. Media komunikasi merupakan peradaban Barat. Dalam media, tersimpan pemikiran yang hendak disampaikan. Peradaban merupakan media dalam mengekspesikan kebudayaan, namun media komunikasi sebagai bentuk peradaban Barat, media dari sebuah kebudayaan, menyimpan pesan pemikiran yang disampaikan di dalamnya. Media komunikasi sebagai peradaban barat menyimpan pesan kebudayaan yang hendak disampaikan.
Pesan media komunikasi, baik media elektronik maupun cetak, selalu membawa kandungan-kandungan kebudayaan Barat. Media elektronik dalam proses ini sangat dominan dan sangat memiliki peran yang signifikan. Media elektronik mempengaruhi lewat alam bawah sadar, seseorang lupa akan kewajibannya ketika dihadapkan dengan media elektronik. Pengaruh dalam perkembangan kebudayaan nasional sangat signifikan sehingga pengaruh dalam kebudayaan terkesan sebagai sebuah revolusi kebudayaan. Hal ini keluar dari konsep dasar perubahan kebudayaan, yaitu evolusi.
Kreatifitas dalam mengolah kebudayaan adalah sifat dari masyarakat nusantara. Kreatifitas tersebut, hampir hilang ketika dihadapkan dengan peradaban hasil kebudayaan Barat. Sehingga dalam prosesnya kebudayaan nusantara hampir punah seiring dengan berkurangnya kreatifitas masyarakatnnya. Dalam hal ini patut kirannya, kegiyatan musik Gamelan yang disesuaikan dengan trend musik tanah air merupakan salah satu bentuk kreatifitas masyarakat Indonesia yang harus didukung dan mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat luas dan para peminat budaya. Hal demikian, merupakan aktifitas kebudayaan dalam menjiwai peradaban yang hadir di depan mata. Begituhalnya dengan proses persinggungan-persinggungan dalam bentuk lainnya.

Daftar Pustaka
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Yogyakarta: IRCISoD, 2003.
Daeng, Hans J, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan Hidup Tinjaun Antropologo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offist, 2000.
Gazalba, Sidi, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiagrafi, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Ibrohim, Idi Subandy, dan Dedy Djamaluddin Malik, Hegomoni Budaya, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997.
Karim, M Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet.2, 2009.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka, cet.7, 1992.


[1] Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan Hidup Tinjaun Antropologo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offist, 2000), hlm 66.
[2]Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiagrafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm  43.
[3] M Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 25.
[4] Idi Subandy Ibrohim, dan Dedy Djamaluddin Malik, Hegomoni Budaya, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), hlm. 16.
[5] Ibid., hlm. 23
[6] Muhammad Abed Al Jabiri, Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, (Yogyakarta: IRCISoD, 2003), hlm. 32.
[7] Ibid., hlm. 32
[8]  Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, cet 7, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 338.
[9]  Zidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, hlm. 86.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts