Monolog Mati

Oleh Yang Lain Kali


Pada mulanya aku tak berpikir panjang tentang hidup dan kehidupan ini, terlebih tentang diriku sendiri. Lantas bagaimana aku bisa ada hari ini dan berada diantara mereka? Bagaimana bisa hidup menjadi sebegitu wajarnya? Pertanyaan semacam itu yang membuat aku bertahan sampai sekarang. Pertanyaan yang terus merambah di urat-urau otak kepalaku dan menjadi jarum karat di lubuk hatiku. Berawal dari itulah aku menuliskan kalimat-kalimat ini yang aku yakini bakal dibaca oleh orang lain, entah dari mana asalnya. Jika tidak demikian, untuk apa aku menulis? Tetapi lupakanlah!.
Aku hanya ingin mencatat perjalanan hidupku dalam waktu dua tahun ini. Dua tahun yang sulit untuk  aku pertanggung jawabkan pada keluarga, guru, dan mereka yang menganggapku ada, bahkan buat siapa saja yang tidak menerima keadaanku. Semua itu terlalu sukar aku rangkai menjadi rentetan cerita yang utuh, cerita yang indah seperti catatan-catatan para tokoh dunia. Aku hanya segumpal daging yang ditakdirkan hidup sebegini adanya. Hidup yang penuh dengan pilihan-pilihan yang kurang indah untuk diceritakan pada anak dan cucuku. Pun aku tidak jarang merasa naif untuk mengenang perjalanan hidupku selama dua tahun ini. Tetapi sebuah keyakinan yang aku yakini sekarang, membuat aku benar-benar ada dan hidup sewajarnya, meski aku harus menahan rasa perih di kepala dan nyerih dalam dada.

28 Juli 2009:
sebuah keyakinan yang kau tanam, akan melahirkan sejumput ilalang yang dongaknya menyemai purnama dan keraguan yang membentang diantara kedua sayapmu, akan membawa seluruh jiwa dan ragamu ke lembah-lembah yang penuh dengan darah luka, nanah kelukaan, dan air mata yang melara.
Aku tahu, betapa cinta di hatimu telah menggelorakan gumpalan-gumpalan rindu pada sang kekasih, yang pada setiap letupanya bukan lagi semerbak wangi kembang malam, melainkan sekerat desah ketakutan yang kerap kali membuatmu murung dalam tidur. Bahkan bila saja rembulan di matamu itu, tiba-tiba menjelma gerhana. apakah kau masih akan melihat purnama-purnama lain yang kapan saja akan datang untuk memberi sinaran di hatimu?.

21 Desember 2009:
Tujuh hari yang lalu, aku bersepakat  dengan diriku  untuk melipat selendang kumal yang melingkar di leherku sepanjang waktu ke dalam lemari usai dicuci, bersih dan rapi disetrika. Tentang hari dan tanggalnya aku tidak sempat mengingatnya. Tentunya, malam atau hari ini adalah hari ke-tujuh selendang tidak lagi melingkar dileherku. Bukan sebab aku sudah tidak menghargai waktu atau sengaja melupakan, bahkan tidak ingin mengingatnya. Hanya saja kapan hari dan tanggalnya memang tidak terlalu penting untuk aku katakan pada siapa saja yang suka membaca tulisan kesaksian ini. Aku hanya tidak ingin menambah kekecewaan di hatiku dan di hati orang-orang, entah sahabat, teman, kawan, dan orang yang tanpa sengaja berjabat tangan  dan kemudian saling bertukar nama dengan aku.
Cukup aku saja dan buku catatan harianku dalam memory ingatanku yang tahu. Walau aku juga tidak menjamin dengan merahasiakan waktu kapan selendang itu harus pergi dari kehidupanku dan orang-orang, tidak akan memperparah kekecewaan. Sebab sesuatu yang indah dalam pandangan siapa saja, dengan tiba-tiba harus raib tampa pamit sudah pasti melahirkan rasa kecewa. Jujur, aku sendiri sungguh sangat tidak rela selendang di leherku yang setia mewakili panggilan namaku harus hilang tanpa sebab dan alasan yang pasti. Sesekali aku menyesal, geram sendiri ketika melihat selendang tergeletak di lemari, terlipat rapi di antara tumpukan-tumpukan kain yang kapan saja membungkus tubuhku sesuka hati.

25 Desember 2009:
Sungguh aku terpuruk saat ini, ketika selendang benar-benar aku tinggalkan untuk beberapa waktu entah sampai kapan. Aku membiarkannya istirahat biar tenang dengan kehidupannya sendiri. Sebab aku telah rapuh untuk menyebut namanya sebagai pangilan namaku. Oh, betapa kejam diriku!
Selamat berpisah selendang kebanggaanku, selendang yang telah menjadi almamaterku, identitasku, bahkan menjadi teman karib dalam perjalanan rantau hidupku. Selendang kumuh kumal kata orang-orang, selendang warna kuning keemasan dengan bunga-bunga warna coklat, batik khas Madura warisan nenek tercinta yang Ibu berikan padaku menjelang aku pergi mencari yang pasti ke negeri rantau.
“Aku masIh ingat jelas waktu perrtama kali aku mengenalnya, dia lucu sekali. Aku ingin tertawa bila ingat itu,” pertama aku mengenalnya pada musim hujan saat cuaca malam tak jarang turun hujan, udara terasa dingin. Aku suka keluyuran tangah malam waktu itu, atau memang obsesiku. Kata seorang teman dan guruku, jika aku ingin menulis puisi atau sajak maka tulislah di waktu malam ketika suasana sepi dari hiruk pikuk percakapan orang-orang. Aku sepakat dengan usulan itu, sampai aku tak pernah mau menghabiskan malam di ranjang kamar rumahku.
Eli Eli Lamma Sabaktani (Doa Yesus pada Tuhannya) “Tuhan, kenapa Engkau tinggalkan aku?” sebagaimana rintih selendang sejak pertama aku tingalkan. Terngiang di telinga ia menjerit-jerit meraung-raung menangisi kekalahanku.

27 Desember 2009:
Aku kalah. Kalah pada prasangka dan pada kemungkinan-kemungkinan yang membimbangkan hatiku bahkan mengombang ambingkan hidupku di tengah orang-orang bereputasi baik, berprestasi tinggi dan dapat dikata sudah memiliki nama dan sukses. Meski sebenarnya aku sudah punya nama “Selendang”. Tetapi aku merasa itu tidak adil untuk menjadi identitasku saat ini. Barangkali mereka juga sudah berkata seperti itu, jika tahu akan jalan hidupku yang mudah terobsesi.
Mungkin hanya sebuah kebiasaan dan telah menjadi bawaan sejak masa kanak-kanak. Lata menjadi bagian dalam hidupku, saat aku mengenal hidup dan mati, tepatnya sejak aku berusia empat belas tahun waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas dua, dan sejak itulah aku juga mulai paham tentang perasaan  dan perempuan.

18 Februari 2010:
Semua kembali pada mula asal, sebagaimana dulu, empat tahun lalu. Tentang cinta, cita, dan impian. Cinta yang lahir atas nama perempuan; hati cinta perempuan. Cita dan impian yang kugantung di ranting serta dahannya. Bukan sebab musabab yang niscaya terjadi, sebatas bagian terkecil dalam diri hidupku dan kehidupan. Aku ada menjadi berarti atas dasar cinta dan rindu. Cinta yang dia lahirkan di jantung hatiku dengan rerindu yang kian randu, berkembang, beranak-pinak. Sebagaimana cinta dan kasih yang dititipkan sejak berabad-abad yang lalu.
Cinta yang mengantarkan cita dan impian besar; menjadi penyair, seniman, atau pecundang dan begundal atau sebangsanya. Pun cinta yang membesarkan aku dalam kehidupan ini, sehingga paham dam mengerti tentang banyak hal dari yang hidup dan mati; dari yang ramai dan sunyi; terang dan gelap. Tentang persahabatan, cinta kasih, bahkan hakikat kehidupan yang sejati.
Tiada lain lantaran ada dia bagian tulang rusuk adam, ibunda Hawa yang menempati ruang teduh di ranjang istirah Bapa Adam. Seperti halnya aku, “dia” bulan sabit dari timur; memperkenalkan aku pada sosok manusia selain dari pada kaumku “kaum pria”. Tak lain tak bukan sebab ada cinta yang telah tumbuh menjadi sebatang pohon dengan reranting dan daunan randu di taman kalbuku. Hingga malam atau siang ini, pohon itu semakin besar, bercabang, berakar kuat, batangnya mencakar langit dan menantang matahari bahkan hujan berbadaipun pantang untuk tumbang. Ibarat riwayat setetes-setetes air menancap keras batu, bersama waktu akan berlubang pula; itulah cinta, cita, dan impian yang berkembang biak di hidupku.
Bila harapan berbatas waktu, ada doa terjadi kemakbulan; jika hidup untuk karena cinta, aku sakralkan ritual janur kuning melengkung dengan dirinya sampai potongan-potongan bambu menjadi atap istirah antara jasadku dan jasadnya.

Akhir November 2010:
Lelaki belang berambut panjang. Begitulah kira-kira, sebutan terhadapku, “lelaki belang berambut panjang” Aku suka mengkoleksi nama-nama, membuat nama-nama indah untuk menghibur hatiku sendiri.
Rianda!” aku suka menyebut dan memanggilnya meski sekedar dalam gumam atau sebatas dalam catatan. Nama yang lahir atas hati dan rasa yang dalam. Nama yang kuindahkan demi ridu-rindu yang menderu sepanjang waktu.
Tuhan, aku tahu Kau lebih paham dan mengerti tentang cinta kasih dan rerindu. Lebih lagi tentang diriku dan hati serta seluruh isi jiwaku. Karenanya aku bercinta dan menikmati rindu yang mencandu . Meski rasa perih dan nyeri terus menjalar di tubuhku
Dan kemudian, cinta dan rindu itu harus dengan kejam aku bunuh!
Apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku? Aku bertanya atas kebodohan dan ketololan langkah yang mengalir diatas duri dan kerikil tajam.

09 Desember 2010:
Terasa sudah lengkap masalah dan persoalan yang berkecamuk dalam pikiranku. Hampir aku tak mampu memfungsikan otak dan nalar sekedar untuk memecah sedikit darinya demi meringankan jengkal langkah kakiku. Jika ini adalah beban dalam hidup dan kehidupan.
Tadi pagi aku sempat SMS teman-teman yang aku anggap sejalan dalam menentukan hidup. Walau sedikit yang membuat persamaan, yakni kebiasaan berimajinasi dan melakukan sesuatu. SMS-nya beguni; tolong.. ada ular di kepalaku. Tolong, tolong jangan berisik dia sedang terlelap tidur sekarang.
Entah apa maksud dari isi kalimat SMS yang aku kirim itu, yang pasti sepagian itu aku begitu gusar dan kepalaku terasa pening oleh beragam persoalan yang tumpang tindih berebut posisi nyaman di syaraf-syaraf otakku. Bicarapun kebanyakan yang ngaur, untung saja jalanku tidak sempat kesasar sampai akhirnya aku kembali tenang dan sedikit merasa nyaman dan aman berada di warung kopi.

24 Desember 2010:
Hal yang paling menyenangkan hari-hari ini adalah ketika sebangun tidur aku berada di warung kopi. Kecuali ada aktivitas di rumah; misalnya kumpul-kumpul dengan keluarga. Namun tidak jarang aku ke warung kopi bersama keluarga. Entah kebiasaan ini sejak kapan atau sampai kapan? Aku lupa dan tidak tahu. Masih banyak hal yang lebih penting untuk kujadikan bahan berfikir dan merenung. Sebab aku adalah aku sendiri; penguasa bagi diri sendiri atau bahkan aku adalah peluang masa depan yang gemilang.
Bukan warung kopi atau segelas susu kopi atau sacangkir kopi hitam yang aku anggap pemuas dari keinginan sebangu tidur. Terkecuali, suasana yang kompleks. Keadaan dan kondisi yang selalu sesuai dengan hasrat dan kondisi fisik, rasa, dan psikisku. Jadi, tanpa aku harus beradaptasi aku betah disini, sendiri atau bersama siapa saja yang aku anggap sebagai wakil-wakilku menyelesaikan setiap agenda-agendaku.
Boleh saja ini adalah sugesti untuk dirikui sendiri dan mereka. Tampa harus terpikir olehku, mereka anggap ini sebagai persepsi atau asumsi yang konyol.  Benak mereka sedang kepayang dengan dirinya sendiri yang diliputi berbagai masalah, persoalan dan tanggung jawab. Sedang warung kopi adalah jawaban baginya, karena bisa melepas sebagain kecil dari beban pikirannya.
Tidak terasa, matahari sore telah hilang di balik punggungku. Sedikitpun aku tidak menghiraukan kepergiannya, sebab membaca diriku, itu lebih penting. Walaupun aku selalu butuh hangat sinarnya.

25 Desember 2010:
“Segelas air es dan secangkir kopi manis”
Seperti biasa sestiap kali aku pesan ke kasir di warung kopi ini, sampai setiap kasir paham dengan apa yang akan aku pesan sebelum aku menyebutkannya. Di setiap situasi dan kondisi. Ya, kopi manis dan air es. Itu saja yang setia temani aku disini, di warung kopi ini, sesuai rasa. Itulah menu favoritku, di bangku pengganti meja dan kursi di ruang kelas. Segalanya aku dapatkan disini, pengetahuan apapun. Pendidikian yang liar, teman berkarir, pengalaman tentang apa saja. Apalagi mengenai persoalan konflik, taktik, dan strategi ada disini. Mau bicara ekonomi, sejarah, budaya, dan politik seolah menjadi mata pelajaran atau mata kuliah seperti dalam pendidikan formal. Apalagi tentang seni dan sastra, disinilah ruang pelepas penat berimajinasi di kamar pribadi.

27 Desember 2010
            Di warung kopi lagi, tempat segala sesuatu dalam hidupku bergeser. Kira-kira setahun yang lalu aku terbiasa singgah di warung kopi. Setiap hari, setiap sore, malam sampai tengah malam, tiada jenuh, hanya tidak jarang merasa sesal yang sia-sia.
Malam selalu datang sendirian. Sebagaimana bayangan wajahnya menghampiriku setiap malam. Aku gelisah, dan rindu tak henti-hentinya mencipta resah. Nafasku sesak bila kehendak untuk berjumpa memuncak, serasa tiada ketenangan tanpa ada dia di sampingku. Namun bukan bayangannya semata yang mengacaukan isi kepalaku, hanya sebagian dari beragam persoalan dalam hidupku. Bukankah perempuan adalah pendamping setiap lelaki?. Ya, bukan dia perempuan yang menggelisahkan hatiku, tetapi keinginan besar yang tak terlampiaskan; impian, obsesi, profesi dan tanggung jawab.
Barangkali hanya nurani dan pikiran jernih yang mampu menerima kehadiran sosok perempuan dalam hati setiap lelaki yang disibukkan dengan tanggung jawab dalam sebuah Organisasi. Namun tidak bagiku, perempuan ibaratnya embun pagi yang meniti di atas daun-daun yang menyegarkan. Sebagaimana aku selalu menulis puisi tentang perempuan dan keindahannya. Seperti suatu malam lalu, ketika pikiranku kacau dan balau oleh berbagai persoalan yang berkecamuk dalam kepalaku, hanya gelisah rindu yang mampu memadamkan kobaran api yang membakar otakku dengan kata-kata indah yang aku tulis menjadi puisi rindu untuk dia perempuan yang menghinggapi ruang kalbuku. Sebab hanya kata-kata puitis yang mampu menentramkanku;
Sebagaimana metafor aku datang padamu di malam atau siang ini. Kau sedang sakit bukan? Kata-kata telah bercerita padaku sejak sekian waktu lalu; Aku yakin kau bertahan dari keindahan metaphor yang serupa dengan kata-kataku. Jangan takut, aku tak akan terlelap lalu menjelma kata-kata di tidurmu; Jika kau merasa nyeri oleh luka, waktu akan larut dalam sakitmu. Nikmatilah! Ia lebih ngilu dari rahasia dalam kata-kataku atau metaformu yang memanah hati dan jiwaku atau hati kita. Merawat suasuatu ambigue. Rianda, jika hidupmu menyala oleh kata-kata yang menjadi metafor. Congkallah kedua bola mataku. Maka kau akan dapatkan semesta kebahagiaan.
Malam selalu datang sendirian. Sebagaiman puisi yang lahir untuk dia perempuan, “Rianda” aku memanggilnya. Dia adalah perempuan yang setia aku temani setiap kali merasakan keresahan dan kekecewaan di hatinya. Dia pula perempuan yang setia mendengarkan cerita-ceritaku, ketika aku sudah pening memikirkan urusan Organisasi.
Malam selalu datang sendirian. Sebagaimana rasa yang timbul di hatiku dan hatinya. Rasa yang tiba-tiba lahir dan hampir meruntuhkan persahabatanku dengannya. Entah apa namanya, aku menjadi bodoh untuk mengartikan dan menafsirkannya. Orang-orang bilang, itulah rindu, tetapi bagiku begitu tabu.
“Asa dan harapmu tak patah oleh badai, keraguan yang buatmu tepiskan mimpi. Sungguh, angin itu berniat belai gerai rambutmu, janganlah kau takut!” Katanya suatu waktu.
“Bagaimana mampu aku menolongmu, jika uluran tanganku kau lempar ke sungai deras. Reranting yang kujulurkan kau patahkan. Apa yang mesti aku katakan? Teriakanku seperti bisik di telingamu!” Katanya lagi
“Entahlah, aku masih ragu akan kehadiran isyarat dan tanda yang kau utus padaku itu, sebab mimpiku sejak dulu selalu sepi dari cahaya. Aku takut, mata kucing yang tajam di mukanya itu, akan membelah mimpi-mimpi yang mulai aku rampungkan, walau tak serapi bulu-bulu kucing yang halus bak sutra itu”. begitu jawabku.
Hampir aku tidak luput berprasangka dan berceruiga padanya tentang perasaanku dan perasaannya. Suatu waktu yang tak pernah aku harapkan kehadirannya, aku bertemu di tempat biasa aku bercakap dan bertukar cerita dengan dirinya. Saat itu dia bicara lirih padaku: Semalam bulan sabit itu menjelma purnama sempurna, indah betul cahayanya. Meski kini kita kembali membangun benteng yang begitu tinggi, namun kau dan aku telah saling mengetahui dan menyimpan rapat sketsa rindu di hatiku dan hatimu. Kau tahu? Baru sekarang aku menyadari bahwa cinta seperti kopi. Pekat dan pahit, namun tak membuat kita berhintu meminumnya. Ya, seperti kopi yang selalu menjadi perantara pertemuanku dengannya.
Benarlah rindu adalah candu yang harus dinikmati setiap waktu. Dan tiada yang terang ketika asmara menjadi bara dalam hati yang membara. Seperti kilatan cahaya di terik siang yang tak dapat dibedakan. Seperti adanya dalam diriku. Seperti bayang-bayang yang kehilangan bentuk dan rupa. Namun jelas dalam ingatan. Itulah cinta.
“Seperti air mata. Indah tangismu, waktu itu” Mungkin ini adalah pernyataan yang paling jujur padamu serta pertanyaan yang paling tulus pula untukmu. Atau hanyalah kenakalanku saja dalam menggunakan kata-kata indah. Namun itulah rindu yang aku sempay nalar.

16 maret 2011:
Cafe Barbados; The different place to make you so blue
Lagi, aku harus beradaptasi dengan tempat ini. Sebuah warung kopi yang baru aku sambangi untuk melakukan rapat Organisasi Kemahasiswaan. Cafe barbados namanya, sebuah cafee yang tidak asing lagi di kota ini bagi setiap pecandu kopi, orang-orang malam atau kami yang terbiasa kumpul melakukan rapat di warung kopi atau di cafe; cafe dan warung kopi sama saja.
Memang ada yang berbeda dan spesial dari kebiasaan kami sejak awal musim hujan ini. Kami jadi pecandu kopi, penjamu malam, penikmat udara dingin dari rintik hujan yang meresahkan para pemulung. Pemulung dan kami hampir serupa tak sama; sama tak serupa. Pemulung serupa dengan kami yang mencuri-curi waktu tangah malam. Kami tak serupa pemulung yang mencuri-curi waktu di siang bolong. Kami dan pemulung sama-sama tak serupa mancari jawaban hidup dan kehidupan dengan alam dan  keadaan.
Sungguh jauh sudah jalan hidup kami basah sepanjang musim hujan ini.sepanjang persoalan yang tanpa ujung pangkal. Pertikaian yang tanpa masalah untuk diselesaikan. Deras hujan yang turun tanpa waktu tak juga meredam kerasnya batu prasangka dan tak pula mendinginkan kepala yang terbakar perdebatan .

Setelah Dua Tahun Berlalu:
Setelah tiga tahun lamanya aku bertahan dalam lingakaran syetan ini, serasa tiada lagi yang mesti aku tunduk dari keadaan yang kompleks dengan peristiwa dan penuh pelajaran ini. lantas dengan apa aku harus mempertanggung kawabkan semuanya pada mereka yang lebih dulu ada dan mengada disini, di lingkaran syetan ini (entah sejak kapan ini bermula), pada sahabat-sahabat yang senantiasa turut merasakan rasa senang dan resah dalam hidupku dan pada mereka yang terpanggil atau terpaksa untuk ikut dalam perjalanan rotasi proses ini.
Kini semuanya telah berubah. Terlalu jauh dari harapan. Bahkan bunga-bunga mimpi pupus begitus aja tanpa terasa angin atau sinar yang mana yang telah merapuhkannya? Aku bertanya pada diriku sendiri atas keadaan yang memaksaku atas kehendak untk melakukan segala perintah hawa nafsu dan akal bejat di kepalaku. Dalam kesadaran yang tak pernah aku sadari keberadaannya, aku masih saja merasa nikmat dengan ketidak nikmatan yang aku resap setiap waktu, setiap desah nurani dan naluri berhembus menembus cakrawala alam pikiranku. Hanya sebatas tanya yang jawabannya adalah kesombongan dan kecongkakan yang disiram dengan kebohongan-kebohongan bibir dan lidah bicara.
Karena hidup dan kehidupan adalah pilihan dan tidak butuh alasan (sejatinya alasan yang utama). Aku merasa kehilangan sesuatu dari hidup dan kehidupanku sendiri yang sejatinya adalah keadaan yang harus aku jalani. Mungkin seperti halnya mereka yang senantiasa memberi nasehat-nasehat, pujian, pengharapan, atau malah pelecehan yang mengekerdilkan dari setiap masalah dan persoalan yang menimpa. Ya, aku dan mereka sama saja, hanya dibedakan oleh lanskap-lanskap gelap keinginan dan nafsu pemuasan duniawi. Aku yakin bahwa; kelak semuanya akan lebih terang dan akan tambah gelap lagi. Entah kenapa, tiba-tiba perasaan dan prasangka saling tarik menarik untuk menguasai langkah dan alur pikiranku.

Yogyakarta, Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts