BAGAIMANA PERANAN FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA DALAM MEMBANGUN BANGSA YANG HARMONIS?


Oleh : Badrun Alaena*
Tulisan pendek ini tidak bermaksud untuk menawarkan solusi kreatif dan jitu mengenai berbagai persoalan yang dihadapi oleh Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dewasa ini, melinkan sekadar memberikan sumbangan pokok pikiran yang sekiranya dapat didiskusikan untuk membangun Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dalam konteks keindonesiaan kita yang damai di masa depan. Jadi, pokok pikiran ini juga tidak berniat untuk mengetahui dan memastikan masa derpan dan bagaimana yang seharusnya di jalani oleh Fakultas Abad dan Ilmu Budaya, kecuali hanya meramalkan dan merumuskan yang sifatnya msih praduga ilmiah. Sebab bagaimanpun, manusia itu setinggi apapun ilmu dan kekuasaannya, tetaplah ia tidak dapat mengetahui masa depan kehidupannya, bahkan dirinya sendiri dengan pasti. Karena itu pula bagi penulis, masa depan merupakan perkara ghaib, kepunyaan Allah SWT dan hanya Dialah yang mampu mengetahui dan memastikan rahasia-rahasia makhluk Allah SWT yang diciptakannya. Memang, persoalan kehidupan manusia pada dasarnya dapat dipecahkan selama ia masih hidup, kecuali hanya satu mengubah takdir Tuhan, termasuk perkara-perkara ghaib.
Dalam pada itu, dapatlah disimpulkan bahwa kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dipertengahan awal abad ke-20 M yang kemudian berjumlah sebelas buah dan semuanya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, agaknya hingga saat ini belum memiliki peran yang signifikan (baca:nyata) dalam membangun bangsa yang harmonis itu. Dikatakan belum berperan secara signifikan, karena adanya beberapa masalah yang dilatarbelakangi oleh, antara alin sebagai berikut.
Pertama, pada mulanya kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Budaya di tanah air tidak disertai oleh sebuah bangunan argumentasi epistimologis yang pokok, mengapa dan untuk apa kok harus hadir di Indonesia sehingga arah perkembangan yang dikehendakinya menjadi jelas dan tidak terkendali? Yang terbaca selama ini dalam buku-buku literatur nampaknya hanya menyebutkan kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dilandasi oelh alasan historis dan politis, yaitu disamping ilmu-ilmu Faultas Adab dan Ilmu Budaya (kesusastraan dan budaya) sejak dulu sudah ada bahkan telah lama diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah seperti Balaghoh, Nahwu, Shorof, dan Tarikh sehingga perlu dilestarikan eksistensinya agar jangan sampai punah. Juga secara politis, kehadiran fakultas ini di lembaga perguruan tinggi agama Islam (PTAIN) merupakan bagian dari strategi politik umat Islam untuk mereproduksi kaum intelektual (sarjana) muslim yang berbobot dari berbagai disiplin ilmu keislaman (dirasah islamiyah), yang kelak akan berguna untuk menandingi kaum intelektual yang berbasis ilmu-ilmu umum (sekuler) hasil didikan pendidikan model barat yang kiprahnya cukup signifikan dalam konstalasi  peta politik Indonesia sejak era kemerdekaan.
Kedua, jika alasan historis dan politis, kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Budaya seperti itu hanya dijadikan argumentasi dan dalil mengapa harus dipertahankan kehadirannya, maka tetaplah peran-peran yang dimainkan oleh para sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya di Indonesia jika dirasakan akan tetaplah sedikit dan kecil. Karena peran-peran yang dimainkan oleh Fakultas Adab dan Ilmu Budaya selama ini hanya berorientasi semaksimal mungkin akan membawa kebaikan hanya bagi dirinya sendiri. Hal ini berakibat pada peran-peran yang lain diluar dirinya, seperti merespon dan berkontribusi dalam membangun keindonesiaan kita yang harmonis tidak dapat dilakukan ditengah persaingan keras peran-peran intelektual yang dimainkan dari berbagai latar belakang, pendidikan, budaya, dan agama.
Padahal pembanguna keindonesiaa yang harmonis di era kontemporer sekarang mendesak diwujudkan mengingat sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, bangsa ini selalu dirundung dalam pertentangan dan persilangan antarkepentingan sejarah dan peradaban dunia yang tidak henti-hentinya membawa dehumanisasi kebangsaan. Pertentangan dan persilangan ini seringkali menimbulkan anarkisme budaya, destruktifisme moral, anomali nilai-nilai kebangsaan kita yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang beradab dan santun. Jika demikian halnya, maka kehadiran Fakultas Adab dan Ilmu Badaya di Indonesia harus dikaji ulang dalam arti ditinjau kembali bagaimana dasar epistimologinya dan visi apa yang ditawarkannya, sehingga struktur keilmuan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya benar-benar membawa kontribusi yang positif bagi bangunan kebangsaan kita.
Untuk itu, sebenarnya dasar epistimologi yang kemudian menjadi arah dan visi bersama itu terletak pada persoalan di mana seluruh bangunan keilmuan Fakultas adab dan ilmu Budaya itu seharusnya dapat diarahkan untuk membangun sekaligus mengembangkan peradaban yang berbasis pada nilai-nilai Islam yang inklusif, santus (human), dan spiritualistik. Tentu peradaban Islam yang hendak dikembangkan di sini mesti dipandang sebagai sebuah bagian dari peradaban dunia yang dilandasi oleh niali-nilai dan doktrik keislaman seperti itu. Dengan demikia, dasar epistimologi peradaban Islam yang hendak kita bangun itu tidak harus memutus mata rantai sejarah peradaban Islam, akan tetapi meneruskan, memperbaiki, dan mengembangkan peran-perannya dalam konteks keindonesiaan kita.
Dalam kasus di fakultas Adab dan Ilmu Budaya di UIN Sunan Kalijaga, misalnya, perdaban Islam yang unggul itu diderifasikan nilai keunggulannya kedalam target akademik bagaimana mencetak sarjana Fakultas adab dan Ilmu Budaya yang unggul terwujud, yakni tidak hanya mencetak sarjana yang menguasai keunggulan study Islam yang inklusif dan toleran berbasis keilmuan Adab dan Ilmu Budaya, tetapi juga kemampuan berbahasa Arab dan Inggris, serta kecakapan menerapkan teknologi informasi. Keunggulan ini telah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir di mana seluruh mahasiswa Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijag untuk mencapai gelar kesarjanaannya, selain harus mendapatkan sertifikasi ijazah, ia juga harus mendapatkan sertifikasi kemampuan mumpuni berbahasa Arab, Inggris, dan sertifikasi penggunaan teknologi informasi. Hanya dengan keunggulan seperti itulah, diharapkan sarjana Fakultas Adab dan Ilmu Budaya dapat berperan membangun peradaban Islam yang unggul di Indonesia yang kini telah menghadapi tantangan global akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, serta persaingan keras antarbidaya, dengan dasar nilai-nilai keislaman  yang inklusif dan toleran.


*) Penulis adalah dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts