Perempuan Pengantar Kopi



Cerpen: Selendang Sulaiman

“Besar kemungkinan aku tidak akan sanggup menempuh jalan yang kau pilihkan untukku, Ayu. Jalan berkelok, menanjak, dan menikung itu. Kamu paham itu dan kamu sudah pasti menerimanya meski air mata tentu mangalir deras tanpa kau pinta. Dan aku tidak perlu memberi alasan-alasan gombal padamu, jika suatu waktu pertanyaan-pertanyaan (yang kau sendiri mungkin bingung menjawabnya) muncul dalam kepalamu, saat keputusan itu aku tegaskan padamu.”
Ayu menangis sambil memeluk nampan di dadanya. Tangis kecil dengan air mata yang jarang menetes ke punggung tangannya yang lembut sehalus bakpau. Rachem tak peduli itu, dia sudah kadung menjepit gagang cangkir yang baru saja Ayu letakkan di mejanya. Perlahan Ayu mengambil langkah mundur dan pergi dari diamnya di samping Rachem yang masih acuh dan dengan tenangnya dia raih sebatang Kretek favoritnya “234”, disulutnya, dihisap dalam-dalam sambil memejamkan mata.
***

“Benar atau tidak, aku harus mengiyakan bisikan-bisikan kecil yang dilontarkan teman-teman di lubang telingaku, tentang Ayu yang hampir setiap aku nongkrong di warung kopi Blandongan, ia pasti mampir sebentar-sebentar ke tempat dudukku. Alasan sederhana, karena dia satu-satunya pelayan yang paling rajin mengantarkan pesanan pembeli, terutama jika pelanggan itu adalah kami. Entah apa maksudnya, teman-teman selalu berbisik tentangnya di telingaku. Jujur aku memang selalu terlibat dalam tempur pandang mata dengannya walau hanya sekedip mata.”
Cerita Rachem padaku suatu sore yang beku, minimal baga Rachem dan aku. Ketika itu, Faisal, Bung Zen dan D’juma lagi ada Rapat di kampus. Mendengar cerita Rachem yang lebih tepatnya curahan dia saja, aku diam tak mengubris, mungkin karena aku juga terlibat dalam ceritanya itu. Tapi tidak penting membicarakan keberadaanku dalam cerita ini, cerita Ayu. Curahan Rachem itu berawal dari sebuah pertemuan yang sama sekali tak berkesan apa-apa bagiku, bagi teman-teman juga, tapi mungkin sangat istimewa bagi temanku Rachem. Begini:
“Gadis secantik itu Lei, kalau di kampungku sudah tidak perawan! Sudah disunting orang, maksudku!” Buah bibir Faisal masuk ke telinga kananku, selepas Ayu meletakkan beberapa cangkir kopi dan beberapa gelas es teh di mejaku. Aku tersenyum mendengarnya, sambil menyeruput kopi manis yang masih panas menyengat lidah, kopi yang baru saja Ayu berikan padaku, pada Rachem juga dan yang lainnya.
“Lentik lancip jemarinya seirama dengan gerak lengannya yang aduhai, teman. Lembut kiranya kalau aku genggam!” sahut Rachem membumbui, mendarat di daun cuping kiriku, dengan tawa kecil yang menggelitik yang tanpa ia sadari bahwa tawanya yang sekecil apapun akan membuat orang yang ada di depannya akan tertawa kecil pula karena melihat barisan giginya yang tegap siap persis pasukan putih sedang apel pagi. Akupun ikut tertawa geli mendengarnya, pura-pura tidak memperhatikan apapun dari tubuh Ayu usai meletakkan minuman.
“Bung, kopi pahit ini terasa lebih manis dari kopimu! Karna yang ngantar berwajah manis, dan ini kali pertama aku merasa nikmat sekali menyeruput kopi pahit di warung kopi manapun,…” lagi, selalu bung Zen yang memecah keadaan menjadi lucu (menurut dirinya) setelah mengecap kopinya, “…hahahaha, mantap! Bukan begitu bung!” Tegasnya seraya menepuk pundakku.
Kali ini, aku benar-benar tertawa melihat gerak gerik spontannya yang menggelitik dirinya sendiri, kemudian tertawa terbahak sendiri, pun orang-orang suka menertawakannya. Langgam lenggoknya yang kaku, belalak mata yang nakal, dan ketawanya yang kacau, beriring dengan nada bicaranya mengungkap pengakuan gombalnya tentang Ayu di hadapanku, Rachem dan Faisal.
Tawa lebarpun tumpah dalam percakapan kami dalam satu meja sambil lirak-lirik kemana Ayu berjalan di antara meja-meja mengantar minuman. Mungkin Rachem sedang curi-curi pandang dengan Perempuan pengantar kopi yang sedang kami bicarakan itu. Cuma dia malu untuk berterus terang pada kami. Sebab, baginya tak layak jika ada perempuan yang berharap untuk mendapat rayuan seorang lelaki yang suka cengir di hadapan cermin, tertawa sendiri melihat barisan gigi putihnya yang rapi.
“Anggun!...” giliran bibirku berbisik lirih mengawal langkah ramah Ayu menuju dapur warung kopi yang tempat kami nongkrong, “…anggun benar slogan Warung kopi ini,” lanjutku biar tidak ketahuan kalau aku juga ikut memuji perempuan yang tak ada miripnya dengan Miyabi itu.
“Maksudnya bung?” tanya Zen.
“Selamatkan anak bangsa dari kekurangan kopi” jawabku membaca slogan yang terpampang di papan informasi.
“Sepakat saya itu” celetuk Rachem sambil nyengir dan disambut dengan tawa sumbang bung Zen.
“Sepakat bagaimana, jangan-jangan kau sepakat kalu kopi pahit ini terasa manis karena tanga Ayu yang ngaduk, hahaha…” tukas Fiasal mencoba melucu. Kamipun tertawa meski dipaksakan. Apalagi jika bung Zen sudah membumbui percakapan dengan hobbynya, sudah pasti meja ini akan diguyur tawa bahak.
“Sebentar dullu, kita tidak boleh berkesimpulan seperti ittu, sebelum d’Juma memberi fatwa, ‘kan begitu Sahabat Sulei! Ahaha hah” kalau sudah si Zen itu yang bicara, kami benar-benar tak bisa untuk tidak tertawa, padahal sama sekali tak ada yang lucu dari kalimatnya, cuma anehnya kami juga akan ikut tertawa saat dia tertawa dengan kerasnya mengakhiri perkataannya. Dan sambil tertawa aku manggut-manggut saja menahan sakit saking banyakya tertawa.
“Menurut B.A, Rachem sedang kasmaran karena dikejar-kejar tiga perempuan,,” d’Juma mulai bicara dengan gaya persentasi Proposal Skripsinya, sudah tentu kedua tangannya yang tegang terayun-ayun di atas meja melepas intriknya.
“Benar itu bung,” tukas Rachem mencoba mengalihkan pembicaraan. Tetap dengan cengirnya yang basi, cengir yang selalu dia banggakan untuk pamer sama setiap perempuan.
“Benar apa bener, ayo ngaku, cakakakak….” Sudah tentu yang nyeletuk kali ini bung Zen.
Bagaimana aku tidak akan tertawa dan betah bersama mereka, jika setiap pertemuan di warung kopi ini, selalu itu itu saja yang diperbincangkan. Meski terkadang membuat hati kesal dan jengkel, tetapi itu yang membuatku nyaman. Apalagi kalau sudah membahas bab “Ayu”, mau habis dua cangkir kopi dan segelas es teh perkepala, tak terasa waktu yang menghabiskan ber-jam-jam itu.
Duh, hujan turun tiba-tiba, deras sekali malam itu. Warung kopi yang kami tunggui dari sore tadi tanpa terasa telah dipenuhi oleh orang-orang. Beragam wajah saling pandang di atas meja. Meski hujan deras bersama angin, tak terdengar percakapan tentang hujan. Mungkin hanya di bangku yang kami duduki ini, dari bab “Ayu” sampai bab “Hujan”. Karena kami sering tertawa, banyak mata yang melihat percakapan kami.
Baru saja, sebelum hujan turun di jalan Sorowajan dan sekitarnya, ayu bergegas meninggalkan warung kopi ini. Tapi percakapan tentang dirinya, tak juga sirna dari mulut-mulut kami yang tak pernah lelah menghisap kretek yang paling tua usianya ini. Yang berubah hanya raut wajah Rachem, entah kenapa. Biasanya, kalau aura Rachem sudah berubah, dia sedang tersinggung. Tapi kata-kata kami tak ada yang menyangkut dirinya. Kecuali lelaki yang memberi helm warna ungu pada Ayu tadi sebelum dia pergi. Apa benar, Rachem tersinggung? Jika ia, berarti dia ada sesuatu pada perempuan yang menurutnya mirip dengan “Ana Kim Su Jin” perempuan cantik jelita dari Korea itu, yang pernah dia tuliskan dalam cerita pendeknya.
***

Tidak ada alasan bagiku untuk tidak menuliskannya dalam catatan harianku tentang perempuan pelayan warung kopi yang rajin mengantar minuman ke meja pelanggan dengan ramah dan penuh sopan santun itu. Apalagi ketika bersanding dengan sosok lelaki yang memiliki tawa kecil tapi melahirkan tawa terbahak itu, catatan ini akan lebih sempurna.
“Aku suka dengan caranya melangkah, berjalan diantara meja-meja dan kursi, layaknya pramugari yang melangkah rapi. Pun cara meletakkan cangkir dan gelas, yang perlahan dan penuh kelembutan, ibarat daun-daun dihempas angin lirih senja hari, sejuk dipandang mata. Senyumnya renyah serekah mawar tersambut embun pagi, terpoles kedip mata yang kekunang-kunang di malam remang dan sepi, sempurna oleh aura wajah penuh karisma. Mata tertangkap hati tertambat hasrat.”
Amboi, hampir aku tidak percaya, Rachem bisa memuji perempuan yang sedang dipujanya dengan sangat puitis. Kurasa, pujaan hati yang sedang ia puji adalah perempuan yang sedang aku tuliskan ini.
Teringat Ayu, teringat perempuan kampung di masa lalu. Perempuan terdamba dalam hati. Perempuan anggun, ramah, dan dihiasi kesopanan. Perempuan yang jarang mengumbar kemanjaan dan tidak suka tebar pesona. Pun aku terkesima dengan perempuan yang setia mengantar kopi dari meja yang satu ke meja yang lian di warung kopi tempat aku nongkrong bersama teman-teman.
Ya, buatku ayu hanya penajam ingatan pada masa lalu atau pada kekasih yang jauh di sebrang. Tetapi lain bagi temanku Rachem, sesosok perempuan anggun dan lembut itu, bukan hanya meruncingkan daya ingatannya bahkan menyilaukan mata rindu di hatinya yang tumbuh untuk Ayu sendiri.
“Bung, lama-lama aku bosan juga disini” ucap Rachem usai nyeruput kopinya pada tetes yang terakhir.
“Yah, perasaanmu saja Hem,” Tukas bung Zen sambil menggerak-gerakkan kakinya yang tak bisa diam bila duduk di kursi.
“Mungkin, ada alasan lain bung, kenapa dia tiba-tiba ngerasa bosan disini, wong sudah sestiap hari kesini kok, malah katanya dah Hobby..” tandasku menyela sambil bermain kedip mata sama yang lain.
“Sumpah, bosan aku bung” Rachem mencoba membuat kami percaya.
“Jangan-jangan karena Ayu tidak lagi jadi pengantar kopi ya,,” bisik Faisal menyentil perasaan Rachem.
“Sepakat saya itu,” aku menegaskan sambil mengumbar senyum.
“Wah,,, menarik ini, kalau sudah ada yang kepincut diantara kita, hahaha” lagi, Zen mencoba mencairkan suasana, tepatnya suasana hati Rachem.
Sore itu, di warung kopi yang biasa kami tandangi, kopi yang kami seruput terasa berbeda rasanya, dan yang meletakkan kopi di meja kami, bukan perempuan yang selalu kami perbincangkan. Kami lupa tak memperbincangkan itu, kecuali hanya pikiran dan hati Rachem yang selalu ingat untuk mengingatkan kami pada Perempuan pengantar kopi itu. Meski dia punya cara sendiri untuk mengingatkan kami, ya seperti ungkapannya yang kurang enak itu.
Akhirnya, dengan alasan mau rapat, mau nemui teman yang sudah buat janji, dan alasan yang dibuat-buat, kami pergi bersama meninggalkan kopi di atas meja. Dan Rachem meninggalkan rindu pada Ayu di cangkir yang ia kecup dengan penuh perasaan.
Sejak pertemuan itu, kami tak lagi mempercakapkan Ayu. Sejak pertemuan itu pula Ayu akan datang ke warung kopi tempat iya kerja diantar ojek, pulangnya pun ia akan naik becak. Rachem kelihatan sumringah semenjak sehari setelah dia bilang bosan berlama-lama di warung kopi itu. Dia tak lagi tersinggung oleh helm warna ungun yang Ayu terima setiap dia mau pulang kerja.

Yogyakarta, 2009-2011


            Selendang Sulaiman ; Pengelola Sanggar Jepit Yogtakarta

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts