Tari Pendet dan Nasionalisme Semu


Oleh: Imam Nawawi

Kembali ketenangan kita diusik negeri jiran. Pada tahun 2007 Malaysia membuat ulah. Wayang kulit, Angklung, lagu ‘Rasa Sayange’, lagu ‘Jali-jali’, lagu ‘Indiang Sungai Garinggang,’ Batik, dan Reog Ponorogo hampir direbutnya. Pada 2009 Tari Pendet dari Bali kembali menjadi sorotan publik. Malaysia menayangkan Tari Pendet dalam iklan pariwisatanya untuk menarik minat pengunjung. Pemerintah RI pun merasa dirugikan baik secara moril maupun ‘materil’.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata terpaksa mengirimkan surat protes kepada pihak pemerintah Malaysia agar izin publikasi Tari Pendet sebagai iklan pariwisata di negeri mereka segera dicabut. Sayangnnya, pemerintah Malaysia mengelak dituduh melakukan publikasi hal yang bukan haknya dengan berdalih bahwa produksi iklan tersebut adalah milik swasta sehingga proses hukum akan segera ditindak lanjuti.
Terlepas bagaimana pangkal penyelesaian adegan ‘drama’ tersebut, yang jelas rasa nasionalisme terpancing kepermukaan. Pemerintah RI merasa gerah dengan ikhwal klaim-mengklaim negara tetangga atas Tari Pendet ini. Sekalipun masih dalam proses namun masyarakat luas sudah mengetahui bahwa pemerintah RI serius mempertahankan karya anak bangsa dan budayanya.
Tanpa tendensi melontarkan asumsi negatif atas respons pemerintah namun indikasi-indikasi tertentu dari protes tersebut cukup tercium. Terdapat satu pertanyaan kenapa setiap hal yang bernilai materil atau capital direspons berbeda tinimbang persoalan yang lebih ‘transenden-abstrak’. Nasionalisme terhadap tari-tarian dan lagu-laguan, yang notabene dapat mendatangkan keuntungan material jika dikelolah dengan baik misalnya, mendapat perhatian lebih dari sekedar nasionalisme antiketertindasan, antipenjajahan, antiketerbelakangan dan antikemiskinan misalnya?
Mengaca pada sejarah kita disadarkan bahwa pemerintah sekarang sudah jauh meninggalkan ranah perjuangan yang semestinya. Awal abad duapuluh (1923) misalnya para intelektual anak bangsa yang belajar di negara Belanda sudah menggaungkan kemerdekaan, mempelopori gerakan antikolonialisme radikal, dan merumuskan arah bangsa yang semestinya. Kepedulian mendasar ditunjukkan lewat perhatian terhadap hal-hal yang paling mendesak, waktu itu berupa kemerdekaan dari penjajahan kolonial.
Fakta sekarang pemerintah bersuara lantang jika yang dicaplok orang lain adalah hasil karya anak bangsa yang potensial mendatangkan keuntungan materi. Sebaliknya pemerintah ongkang-ongkang saja melihat kemerdekaan, kebebasan, dan kemandirian dalam ekonomi dan politik diintervensi negara asing. Semestinya kemerdekaan sejati dan kemandirian optimal lebih mendesak ditangani.
Dalam majalah Hindia Poetra edisi Maret 1923 De Indische Vereniging (Pehimpoenan Indonesia) meletakkan tiga ide dasar arah perjuangan sebuah negara-bangsa. Pertama terkait masa depan bangsa bahwa kemajuan tergantung sejauh mana struktur pemerintahan bebas dari intervensi asing, kedua terkait kewajiban semua pihak untuk berusaha sendiri tanpa bantuan pihak manapun, dan ketiga, kerjasama adalah point penting dalam rangka mencapai dua cita-cita sebelumnya. Intinya ide nasionalisme berakar pada kemerdekaan sejati dan kemandirian yang maksimal (Sartono Kartodirjo, 2005).
Pemerintah tidak salah pabila berjuang keras menggugat Malaysia ihkwal Tari Pendet dari Bali yang dimanfaatkan mereka demi kepentingan ‘kapitalisme’. Tapi amat tampak lucu dan bikin kesal jika pemerintah tinggal diam dan bungkam melihat bangsa ini dijajah dalam perekonomian dan politiknya. Betapa tidak, negara yang sedari dulu bergelar gema ripah loh jinawi kini harus terjebak dalam impor pangan. Lebih dari 5 miliar AS atau setara dengan Rp. 50 triliun devisa negara terkuras sia-sia untuk biaya impor itu. Sementara elite pemerintah sendiri terkesan bersengaja tidak serius untuk berdikari. Bayangkan, negeri yang mudah mendapatkan garam masih juga mengimpor garam. Rp. 900 miliar terbuang cuma-cuma (Kompas, 24/8). Ironis bukan?!
Nasionalisme kini lebih tampak pragmatis sehingga terendus kesemuannya. Nasionalisme diperjuangkan hanya jika membantu mempertebal ‘kantong-kantong’ pemerintah. Nasionalisme dicampakkan dan dilupakan untuk diperjuangkan jika menutup sumber ‘rejeki’ mereka. Lihat, teramat banyak kontrak-kontrak dengan negara asing dikukuhkan sekalipun nyata-nyata bertujuan mengeruk kakayaan sumber alam kita sementara penduduk pribumi tidak berkesempatan mencicipi manis ‘tanahnya’ sendiri.
Karena itulah, pembelaan terhadap Tarian Pendet yang belakangan ini seru diperebutkan hanyalah bagian kecil dari ‘drama’ nasionalisme. Masyarakat luas masih diliputi keraguan akan kejujuran pemerintah dan keseriusannya dalam mempertahankan hasil karya budaya sendiri selama belum ada bukti nyata dari komitmen pemerintah untuk membawa kesejahteraan yang dijanjikan bagi rakyatnya. Nasionalisme bukan saja ditunjukkan dengan protes terhadap pihak yang hendak merebut budaya, yang notabene benda mati, melainkan juga nasib para pelaku budaya itu sendiri (rakyat) diperhatikan dengan baik.
Sudah saatnya pemerintah kembali ke khittah dan reinterpretasi terhadap kandungan nasionalisme. Yakni, bahwa arah perjuangan utama bagi bangsa ini adalah apa yang telah purna dirumuskan oleh founding fathers. Kemerdekaan, kebebasan dari beragam bentuk intervensi asing, dan kemandirian menjalani hidup, adalah dasar pijakan nasionalisme. Dengannya bangsa ini maju. (Bukankah negara yang maju dan kuat segan diusik oleh negara-negara tetangganya?).
Walhasil, dapat diketahui alasan mendasar dari setiap peristiwa kenapa bangsa kita tidak segera berkembang maju sampai pada usianya yang senja. Jawabannya jelas, nasionalisme yang dipahami sampai detik ini adalah nasionalisme yang terlalu semu dan tidak mengakar. Nasionalisme diperalat untuk menjaring kekuasaan dan mediasi mengabdi pada kapital (kekayaan).
Lantas siapa korban dari nasionalisme semu tersebut dan apa bentuknya? Masyarakat. Masyarakat diminta kesediaannya untuk merawat dan menjaga keberlangsungan sebuah budaya sementara sumbangsih dan kontribusi pemerintah kepada mereka tidak tampak. Reward untuk rakyat nyata-nyata tidak ada. Sebab dalam konteks ini mungkin masih berlaku sebuah pepatah Barat, “Tidak ada makan siang gratis!”

Tulisan ini dimuat di Koran Joglosemar, Agustus 2009

*)Imam Nawawi, Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Poll

Pages

Total Pageviews

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Popular Posts